Toleransi
MPU Tantular hidup pada masa ketika kehidupan keagamaan masyarakat Hindu dan Buddha Kerajaan Majapahit (sekitar 14 M) begitu berkembang dengan suburnya. Masyarakat terkelompok dalam berbagai mazhab atau aliran paham berbeda meski berasal dari akar teologi sama. Karena perbedaan itu, tidak jarang terjadi perselisihan yang dapat mengarah kepada konflik yang membesar intensitasnya.
Memang, perbedaan paham tentang suatu masalah agama sering menjadi bahan pemicu terbakarnya emosi seseorang. Mpu Tantular melihat itu sebagai suatu kebaikan karena tumbuh sejalan ghirah agama dan ketaatan dalam kehidupan keseharian. Namun, efek negatifnya juga harus diwaspadai karena dapat menjadi tungku api yang membakar tali persaudaraan antarmereka.
Di situlah sebagai pemuka masyarakat, Mpu Tantular mengajarkan perdamaian dan hidup berdampingan antarpemeluk agama, meski memiliki paham berlainan. Menurutnya, walaupun berbeda-beda dalam cara pemahaman atau pengamalan beragama, tidaklah mereka dipisahkan. Bahkan, mereka hakikatnya tetap satu karena tidak ada darma kebaktian yang berbeda tujuan, semua menuju kepada sumber yang sama. Sungguh, tidak ada dualisme dalam kebenaran itu (Tan hana dharma mangrwa).
Cuplikan kisah di atas menginspirasikan nilai yang mendalam tentang keutuhan masyarakat. Meskipun Mpu Tantular lahir dalam konteks mayoritas masyarakat Hindu Majapahit di abad 14-an M, tidak berarti kisahnya hanya menggambarkan keadaan yang spesifik terjadi pada masyarakat saat itu saja.
Semua lingkaran masyarakat menjumpai situasi yang sama. Utamanya, di saat perbedaan dan keragaman menjadi warna yang dominan di dalamnya. Ajaran Tantular di atas sejatinya lahir dari suatu kesadaran pentingnya menjaga nilai-nilai kebersamaan di antara anggota masyarakat yang beragam.
Perbedaan bukanlah sesuatu yang terlarang. Namun, jika tidak mampu ditangani dengan baik bakal menjadi bahan pengoyak rajutan kebersamaan tersebut. Itulah mengapa pemahaman dasar dalam masyarakat harus ditumbuhkan bahwa perbedaan hakikatnya berasal dari sumber yang sama, yaitu Tuhan. Prima Causa hanya satu dan semua bentuk pengabdian hanya tertuju kepada ‘Yang Satu’ itu.
Toleransi
Meski diserap dari terma Inggris, tolerance, yang Latinnya tolerantia, tidak berarti makna toleransi itu kita pahami karena kita ingin meniru perilaku dan budaya bangsa Barat dalam menyikapi perbedaan.
Esensinya, toleransi merupakan perilaku dasar dalam interaksi sosial keseharian kita untuk saling menghormati dan menghargai antarkelompok atau individu dalam masyarakat. Sikap itu lahir karena kesiapan kita memahami orang lain yang berbeda, baik perbedaan itu karena berbagai faktor yang beragam pula.
Karena perilaku toleran itulah, setiap individu tidak akan melakukan diskriminasi sebab nilai-nilai primordialisme yang menempel dalam diri seseorang. Perilaku toleransi itu biasanya ditunjukkan dalam interaksi sehari-hari. Misalnya, tidak memaksa orang lain mengikuti pendapat atau paham kita, tidak mencela orang yang berbeda, dan tidak melarang orang lain untuk mempunyai pandangan berbeda.
Toleransi akan melahirkan perilaku antidiskriminasi dan antipersekusi karena memandang perbedaan itu bukan sebagai ancaman, melainkan justru pengayaan perspektif terhadap suatu hal.
Sejalan dengan pandangan Kevin Osborn, tidak mungkin negara demokratis dapat terbentuk tanpa adanya perilaku toleransi dari masyarakatnya (Kevin Osborn, 1993). Atau dengan kata lain, toleransi merupakan fondasi demokrasi. Sebab dengannya, masyarakat mampu berperilaku positif terhadap segala perbedaan. Utamanya ketika dia menunjukkan sikap penerimaan terhadap pendapat orang lain dan menerima kenyataan ketika kalah dari lawan politiknya.
Toleransi bukanlah perilaku yang didasari nilai dan kebutuhan masyarakat tertentu saja. Dia ialah kebutuhan semua ras manusia secara general. Terlebih ketika masyarakat itu terbentuk dengan beragam warna nilai, sikap dan perilaku, toleransi itu sangat dibutuhkan. Agar dapat membuahkan kedamaian dan kelanggengan keutuhan masyarakat itu.
Pendidikan toleransi
Persoalannya, bagaimana kita dapat mengimplementasikan perilaku toleran itu di tengah hiruk pikuk pergaulan hidup yang semakin kompleks. Bahkan, dalam era disrupsi saat ini ketika kemampuan untuk hidup berdampingan dan melakukan kerja sama sangat diperlukan, perilaku toleran tentu menjadi esensial.
Dalam dunia pendidikan, sejak 1980-an muncul wacana yang semakin kuat untuk mengembangkan pendidikan multikultural. Wacana itu esensinya gerak kesadaran tentang pentingnya ide dan konsep pendidikan yang mampu membawa peserta didik dan sivitas akademika ke arah kesadaran akan keragaman budaya dan identitas, baik pribadi maupun masyarakat.
Ide pendidikan semacam itu tentu terasa sangat tepat dalam kondisi kekinian, jika pendidikan tidak sekadar dipahami sebagai aktivitas transfer ilmu pengetahuan. Namun, sebagai sarana untuk mengarahkan peserta didik kepada cara berpikir yang baik, maka pendidikan multikultural mempunyai peran yang sangat penting sekali.
James A Banks, tokoh dalam model pendidikan ini, menuturkan, bahwa siswa sejak dini mesti dilibatkan aktif dengan berbagai aktivitas yang dapat membangun kreativitas mereka dalam proses konstruksi pengetahuan dan interpretasi yang berbeda-beda (James A Banks, ed, 2001).
Jika pendapat dan pemahaman merupakan bentuk interpretasi yang harus dihargai, toleransi merupakan perilaku dan sikap yang menjadi natijah dari pendidikan multikultural itu. Artinya, pendidikan multikulturalisme hakikatnya bertali-berkelindan dengan pendidikan toleransi. Dengan makna, pemahaman terhadap kenyataan kondisi multikultural yang ada dalam masyarakat musti diikuti perilaku toleran yang muncul dari peserta didik.
Sederhananya, semakin kita menerima keberbedaan di sekitar kita, semakin muncul sikap toleran. Ini tidak harus dimaknakan, kesadaran keragaman nilai dan budaya dalam masyarakat harus didahului kesadaran memberikan judgment, suatu nilai itu benar atau salah.
Ajaran multikultural tidak harus melahirkan suatu sikap menolak atau menerima suatu pemahaman tertentu, atau pelabelan, suatu keyakinan tertentu bersifat benar atau salah. Karena jika demikian, pendidikan multikulturalisme tidak membawa peserta didik kepada sikap terbuka. Namun, justru perilaku tertutup dan penolakan kepada entitas lain yang berbeda. Pendidikan multikultural haruslah menuju kepada sikap dan perilaku toleransi dari peserta didik.
Jika demikian, pendidikan toleransi harus membawa kepada tiga perilaku utama. Pertama, kesediaan berpikir terbuka terhadap segala bentuk perbedaan. Keterbukaan dalam hal ini ialah sikap menerima perbedaan sebagai suatu fakta lumrah dan wajar.
Kedua, memahami pendapat orang lain secara empatik, yaitu berusaha menempatkan diri kita dalam posisi orang itu sehingga mampu memahami pandangannya yang mungkin diametral dengan pandangan kita.
Ketiga, mendahulukan persamaan yang dapat ditemukan di antara berbagai perbedaan yang ada. Meyakini bahwa setajam apa pun perbedaan pasti terdapat nilai-nilai persamaan. Karena itu, serumit apa pun konflik yang muncul, nilai-nilai persamaan akan menjadi sarana yang mampu mendekatkan dua kubu yang saling bertentangan.
Di sinilah pentingnya untuk terus mengampanyekan sikap, perilaku, dan nilai-nilai toleransi dalam kehidupan kita, yang dengannya perbedaan itu dapat menjadi jalan terwujudnya rahmat bagi bumi ini.
Penulis: Ratno Lukito Divisi Riset dan Publikasi Yayasan Sukma
Pada: Senin, 19 Nov 2018, 06:40 WIB