Tentang Louie dan Resiliensi
LOUIS Silvie ‘Louie’ Zamperini (26 Januari 1917-2 Juli 2014) ialah representasi keteguhan dan daya juang yang mengagumkan. Tumbuh sebagai anak kecil yang bermasalah, Louie merokok dan mabuk di saat usianya belum delapan tahun, mencuri dan akrab dengan berbagai aksi kekerasan di sepanjang masa kecilnya.
Atletik kemudian mengubah jalan hidupnya saat ia belajar di tingkat sekolah menengah atas. Kecintaannya berlari membuatnya menjadi yang terbaik di sekolah–dan kemudian–di negara bagian. Berlari jugalah yang kemudian membawanya ke Olimpiade 1936 di Berlin dan membuatnya melekat dalam ingatan Hitler sebagai ‘anak muda yang berlari dengan cepat di putaran terakhir menjelang garis fi nis’. Louie hanya berada di urutan kedelapan pada hari itu. Namun, pertunjukan larinya di putaran terakhir (final lap), pada 7 Agustus 1936, menjadi salah satu yang tercepat dalam sejarah lari 5.000 meter di Olimpiade. Louie Zamperini ialah seorang pemenang.
Namun, kisah mengagumkan tentang Louie yang sesungguhnya bukan datang dari pencapaiannya di lintasan atletik. Dunia lebih mengenal Louie Zamperini sebagai seorang pahlawan perang dengan kisah keteguhan dan daya tahan hidup yang menginspirasi dan melegenda. Zamperini muda– seperti jamaknya anak muda di Amerika di masa Perang Dunia II–memilih menjadi serdadu dan berperang untuk negaranya di belahan dunia lain.
Pada 27 Mei 1943, dalam sebuah operasi militer di lautan Pasifi k, pesawat B-24 Green Hornet yang ia tumpangi jatuh akibat masalah mesin di wilayah perairan, sekitar 1.300 kilometer selatan Oahu, kepulauan ketiga terbesar di Hawai. Louie bersama Russell Allen ‘Phil’ Phillips dan Francis ‘Mac’ McNamara menjadi penyintas dari total 11 awak pesawat.
Bertiga, mereka terapung dan mempertahankan hidup dengan memakan apa pun yang berhasil mereka dapatkan; sedikit sisa makanan, kemudian ikan kecil atau burung yang hinggap di sekoci mereka. Siksaan nasib tak berhenti di sini. Setelah 33 hari terombang-ambing ombak laut, McNamara meninggal. Zamperini dan Phillips bertahan sampai hari ke-47, hanya untuk ditangkap Angkatan Laut Jepang di Kepulauan Marshall. Setelahnya, kisah Louie berkisar pada deraan perlakuan buruk dan siksaan sebagai tawanan perang. Louie berpindah dari kamp tawanan perang di Kwajaelein Atoll, Ofuna, sampai Omori. Hariharinya penuh siksaan, pada saat yang sama, hari-harinya penuh perjuangan dan demonstrasi kemampuan untuk selalu bangkit dan bertahan.
Di penghujung Perang Dunia II, saat kebebasan seperti terasa sangat dekat, Louie malah dipindahkan ke Kamp Naoetsu–kompleks militer bagi tahanan perang–di Jepang Utara tempat ia bertemu Mutsuhiro ‘si Burung’ Watanabe, salah satu penjahat perang paling dicari dalam daftar Jenderal Douglas McArthur. Di tangan Watanabe, siksaan yang konstan dan ujian bagi keteguhan Louie untuk terus bertahan kembali berulang.
Kisah siksaan dan perjuangan Zamperini di bawah Watanabe itulah yang kemudian ditulis dan difilmkan dalam Unbroken. Saat Louie dibebaskan, ia berdamai dengan semua kenangan buruknya dan memilih memaafkan musuhmusuhnya, termasuk Mutsuhiro ‘si Burung’ Watanabe. Kisah Louie Zamperini memberi contoh betapa keteguhan, daya juang, dan kemudian kerelaan untuk memaafkan dalam menghadapi cobaan hidup dan nasib buruk kembali membawanya sebagai pemenang.
Lingkungan belajar
Mengapa Louie Zamperini tidak mudah ditundukkan kegagalan, kesialan, kekalahan, siksaan, musibah, dan nasib buruk? Kenapa sebagian orang setelah mengalami kegagalan dan kekalahan menyerah, sementara yang lain bangkit kembali dan kemudian malah sukses dan menjadi pemenang seperti Louie? Jawabannya ialah resiliensi (resilience).
Tidak ada defi nisi baku tentang resiliensi. American Psychological Association (APA) menyebutnya ‘proses dan kemampuan untuk beradaptasi secara positif dalam menghadapi berbagai situasi yang tidak diinginkan, trauma, tragedi, ancaman atau berbagai penyebab stres. Resiliensi disamakan juga dengan ‘daya lenting/bouncing back’ dari pengalaman yang sulit’. Studi tentang resiliensi ialah salah satu studi tentang subjek yang tak seorang pun akan memahaminya secara utuh.
Resiliensi layaknya mahateka-teki tentang hakikat alamiah manusia, seperti halnya kreativitas atau insting religius (Coutu, L Diane: ‘How Resilience Works’: Harvard Business Review, 2002). Namun, resiliensi ialah sesuatu yang dapat dipelajari. Resiliensi tidak diturunkan dari orangtua, tetapi sebuah kemampuan yang bisa dicapai dan dikembangkan. Lalu, bagaimana menumbuhkan dan melatih resiliensi terutama pada anak-anak?
Anak yang resilien setidaknya menunjukkan empat karakteristik (Benard, 1995); pertama, memiliki kompetensi sosial, kemampuan untuk menarik respons positif dari orang lain yang menjadi dasar relasi sehat dengan orang lain, baik orang dewasa maupun sebaya mereka. Kedua, kemampuan memecahkan masalah; berkaitan dengan kemampuan untuk membuat rencana dan tindakan yang akan dilakukan saat menghadapi masalah, termasuk kelenturan dalam mencari solusi alternatif dan kemampuan untuk berpikir secara kritis dan analitis. Ketiga, otonomi, kemampuan memahami identitas diri, untuk bertindak bebas dan mengendalikan lingkungan. Terakhir ialah keyakinan akan adanya makna dan tujuan hidup serta masa depan yang lebih baik.
Sekolah merupakan tempat yang tepat untuk mengembangkan dan melatih resiliensi. Membangun lingkungan yang positif bagi peserta didik sudah semestinya menjadi visi sekolah. Lingkungan yang memungkinkan peserta didik, guru, dan orangtua/masyarakat saling mengembangkan relasi berdasarkan rasa saling percaya, perhatian, pemahaman, empati, saling menghargai, dan peluang untuk mendapatkan contoh dari praktik perilaku yang baik (role modelling). Pada saat bersamaan, sekolah memfasilitasi ragam potensi siswa dengan menumbuhkan kesadaran bahwa mereka bisa mencapai harapan dan cita-cita mereka lebih baik daripada yang mereka bayangkan.
Sekolah harus mampu menjadi tempat untuk melihat belajar sebagai sebuah proses yang terus berlanjut. Dalam proses ini–karenanya–pengalaman gagal ialah sama pentingnya dengan sebuah pencapaian keberhasilan. Jika kegagalan diperlakukan sebagai bagian dari proses pencapaian, ia tak lagi menakutkan. Kesadaran semacam ini akan menumbuhkan pengetahuan dan keterampilan analitis atas kegagalan yang pernah dialami sekaligus seperangkat pengalaman, rencana, dan tindakan untuk menghadapinya.
Proses itu tidak saja menumbuhkan rasa percaya diri (bahwa masa depan akan lebih baik), tetapi juga kesadaran dan kebutuhan untuk mengukur kemampuan diri yang dimiliki peserta didik. Pada titik tertentu, tarikan antara rasa percaya diri dan kesadaran akan kemampuan diri akan menghasilkan apa yang disebut sebagai ‘ketegangan kreatif/creative tension’ yang merupakan energi bagi mereka yang mau belajar. Saat kegagalan, kesialan, kekalahan, siksaan, musibah, dan nasib buruk bukan lagi menjadi hal yang harus diratapi dan dikutuk, mungkin kita selalu punya peluang untuk membangun resiliensi. Seperti Louie Zamperini.
Victor Yasadhana Direktur Pendidikan Yayasan Sukma