Resiliensi di Negeri Bencana
PASCAGEMPA 7,4 skala Richter dan tsunami di Sulawesi Tengah, wilayah Petobo dan Balaroa benar-benar mengalami fenomena likuefaksi. Tanah yang kehilangan kekuatannya, berubah menjadi lumpur. Tercatat, tidak kurang 1.747 rumah di Balaroa dan 744 rumah di Petobo ditelan bumi. Diduga, ratusan orang yang juga ikut terhisap di bawah lumpur. Konon, likuefaksi terjadi karena kawasan yang berada di Petobo dan Balaroa berada di tanah aluvium, bahasa geologi untuk tanah yang masih muda.
Apa pun penjelasannya, musibah tetaplah musibah. Bencana yang tidak hanya merenggut nyawa kolega dan keluarga, akan tetapi juga meninggalkan luka dalam bagi penyintasnya. Kemampuan bertahan dalam penderitaan dan kesanggupan untuk terus berjuang meneruskan kehidupan ialah milik penyintas bencana yang memiliki resiliensi memadai. Masalahnya, tidak semua penyintas memiliki resiliensi yang tinggi. Di sini diperlukan dukungan dan intervensi dari berbagai pihak.
Resiliensi
Menurut Desmita (2009) istilah resiliensi berasal dari kata Latin resilire, yang berarti melambung kembali. Disebut melambung kembali barangkali karena sebelumnya terjeremÂbap dengan daya tahan yang handal dalam menghadapi derita, yang bersangkutan kemudian dapat bangkit kembali. Mereka ini memiliki semacam kemampuan beradaptasi tinggi dan tetap teguh dalam situasi sulit. Kesabaran mungkin istilah yang cocok untuk menjadi padanan kata resiliensi.
Reivich dan Shatte (2002) berpendapat bahwa resiliensi dibentuk oleh setidaknya tujuh kemampuan yang dimiliki individu, yaitu (1) regulasi emosi, (2) pengendalian impuls, (3) analisis penyebab masalah, (4) efikasi diri, (5) optimisme realistis, (6) empati, dan (7) daya jangkau.
Regulasi emosi ialah kemampuan untuk mengelola ‘dunia dalam’ diri agar kita tetap menjadi pribadi efektif meski di bawah tekanan. Orang dengan resiliensi tinggi dapat mempergunakan seperangkat keterampilan psikologisnya untuk mengendalikan perasaan, perhatian, dan perilakunya, dalam situasi yang amat sulit sekalipun. Dengan kemampuan ini individu dapat tetap tenang meskipun memiliki banyak persoalan dalam hidup. Reivich dan Shatte (2002) menyebut dua hal penting yang terkait dengan regulasi emosi, yaitu ketenangan dan fokus. Kedua hal ini saling terkait, ketenangan dalam menghadapi situasi sulit sangat membantu agar tetap fokus dalam mencari solusi.
Sementara itu, pengendalian impuls tidak lain ialah kemampuan untuk mengatur ekspresi pikiran dan dorongan peraÂsaan, termasuk kesanggupan untuk menunda gratifikasi demi kepentingan yang lebih besar ke depan. Pengendalian impuls sangat terkait dengan regulasi emosi. Pribadi dengan regulasi emosi kurang baik umumnya juga diikuti pengendalian impuls yang buruk.
Seseorang dengan pengendalian impuls rendah sering mengalami perubahan emosi dengan cepat, moody. Analisis penyebab masalah merupakan kemampuan seseorang untuk dapat dengan jujur, objektif, menganallisis penyebab dari suatu masalah yang sedang dihadapi, tanpa harus terlalu menyalahkan diri sendiri atau pihak lain. Kesanggupan individu dalam menemukan penyebab masalah yang sebenarnya akan sangat menentukan kecepatan dalam menemukan solusi. Individu resilien memiliki fleksibilitas kognisi dan dapat mengidentifikasi seluruh penyebab permasalahan yang dihadapi dengan baik, tanpa terperangkap dalam prasangka atau dogma-dogma kultural, yang terkadang justru mengaburkan akar masalah yang sesungguhnya.
Efikasi diri ialah keyakinan pada kemampuan diri sendiri untuk menghadapi dan memecahkan masalah dengan efektif. Efikasi diri juga berarti meyakini diri sendiri mampu berhasil dan sukses dalam melakukan tugas-tugas tertentu dalam kehidupan. Individu dengan efikasi diri tinggi memiliki komitmen untuk berusaha memecahkan masalah yang dihadapi, tidak gampang menyerah, dan terus berupaya memperbaiki keadaan ketika menyadari bahwa strategi yang sedang digunakan belum membuahkan hasil seperti yang diinginkan.
Optmimisme realistis ialah ciri penting individu resilien. Sebuah kemampuan untuk tetap berpikir positif tentang masa depan, meskipun yang bersangkutan sedang berada dalam keadaan yang sangat tidak mudah. Dikatakan optimisme realistis karena individu meskipun hidup dengan penuh harapan, akan tetapi tetap dalam batas realistis dalam merencanakannya. Ini tentu berbeda dengan utopia, yang cenderung berupa harapan yang terlalu melambung tinggi. Dengan sikap hidupnya yang positif, mereka ini tidak pernah kehilangan harapan akan masa depan dan memiliki keyakinan yang kuat bahwa mereka, dengan bantuan Yang Mahakuasa, dapat mengontrol arah hidupnya.
Empati merupakan kapasitas seorang dalam membaca tanda-tanda perilaku orang lain untuk memahami keadaan psikologis dan perasaan mereka sehingga mampu membangun hubungan lebih baik dengan sesama. Dalam bahasa kecerdasan emosi, empati tidak hanya berhenti pada understanding others, tetapi juga developing others. Setelah dapat memahami orang lain, pribadi dengan empati memadai akan meneruskannya dengan keinginan kuat untuk dapat membantu mengembangkan potensi orang lain. Dalam situasi bencana, kedua kapasitas ini akan terlihat dengan semakin jelas.
Reaching out (daya jangkau) di sini dimaksudkan sebagai kemampuan untuk selalu berusaha melakukan peningkatan aspek-aspek positif dalam hidup, dan kesediaan untuk mengambil tantangan dan peluang baru. Pribadi resilien karenanya tidak pernah berhenti berupaya melakukan peningkatan aspek positif dalam hidup, sekalipun sedang ditimpa bencana yang meluluhlantakkan sendi-sendi kehidupan. Individu yang selalu meningkatkan aspek positifnya akan lebih mudah dalam mengatasi permasalahan kehidupan.
Empat pilar
Pengembangan resiliensi, apa pun bentuknya, seperti dimasukkan dalam kurikulum sekolah, atau dalam wujud pelatihan, seperti penguatan kecerdasan emosi, mengutip pendapat Reivich dan Shatte (2002), perlu memperhatikan empat pilar. Pertama, life change is possible, keyakinan ini penting untuk menegaskan kembali bahwa manusia dapat mengubah hidupnya. Menurut pendekatan ini, orang harus diposisikan sebagai subjek, pelaku, dan bukan korban yang fatalistis.
Kedua, thinking is the key to boosting resilience. Keberhasilan terapi kognitif memperkuat dugaan banyak orang sebelumnya bahwa pikiran dan perasaan itu sangat penting, bahkan merupakan inti dari kehidupan kita sebagai manusia. Kemampuan individu dalam mempertajam kemampuan kognisi dan emosi akan menjadi modal dasar bagi penguatan resiliensi di kemudian hari. Tidak berlebihan jika dalam agama ada petuah ‘bersangka baik dengan keputusan-keputusan Tuhan, termasuk ibadah yang baik’.
Ketiga, accurate thinking is the key. Reivich dan Shatte (2002) yakin, banyak data menunjukkan bahaya optimisme ilusif dan manfaat ‘optimisme realistis’. Optimisme realistis, berbeda dengan yang ilusif, merupakan kemampuan untuk mempertahankan pandangan positif tanpa menyangkal kenyataan, aktif menghargai aspek positif dari suatu situasi tanpa mengabaikan aspek negatifnya. Optimisme realistis tidak menganggap bahwa hal-hal baik akan terjadi secara otomatis. Ini berarti kita dapat meraih hal-hal baik jika benar-benar direncanakan, diusahakan, dan jika dalam perjalanan menjumpai tidak sedikit masalah, selesaikan dengan gembira.
Keempat, refocus on the human strengths. Kesabaran ialah kekuatan dasar yang mendukung semua karakteristik positif dalam riasan wajah psikologis seseorang. Kurangnya resiliensi menjadi penyebab tidak optimalnya fungsi kemanusiaan. Tanpa kesabaran, tidak ada keberanian, tidak ada rasionalitas, tidak ada wawasan. Tetap fokus pada kekuatan fitrah kemanusiaan kita. Resiliensi ialah modal utaÂma untuk dapat bertahan dan sekaligus berkembang di negeri bencana. Seperti kata leluhur, semua pasti ada hikmahnya.
Penulis: Khoiruddin Bashori Psikolog Pendidikan Yayasan Sukma Jakarta
Pada: Senin, 15 Okt 2018, 06:05 WIB