Ramadan, Tarbiah dan Bildung
MENJELANG Ramadan, tampak antusiasme simbolis umat Islam menyambutnya. Berbagai hal dibuat atau dilakukan di sepanjang dan sesudah Ramadan. Jika bukan rutinitas tahunan, selalu ada upaya menemukan atau membuat sesuatu yang berbeda.
Bagi umat Islam, selain sebagai peristiwa kultural, Ramadan berasosiasi dengan pendidikan agama dalam cakrawala seluas-luasnya. Sebagai bulan pendidikan atau syahr at-tarbiyyah, secara umum ia berhubungan dengan pembangunan diri, keluarga, dan kemasyarakatan.
Pertanyaannya, bagaimanakah pendidikan yang dicita itu mungkin? Bagaimanakah kita bisa melihat dan merasakan pengaruhnya?
Kata tarbiah yang berarti pendidikan, secara bahasa berakar sama dengan kata rabb yang berarti Tuhan. Dalam Islam juga ada ungkapan tawhid rububiyyah yang berarti pembuktian keberadaan dan keesaan Tuhan dengan adanya penciptaan, kekuasaan, dan pengaturan-Nya.
Konsep tarbiah kemudian merupakan proses pendidikan yang mesti dijalani manusia dalam keterkaitan dengan posisinya sebagai ciptaan Tuhan: belajar dan berusaha mengelola diri dalam alur relasi kekuasaan serta pengaturan-Nya. Dalam konsep ini kemudian terkandung makna transendensi, bahwa pendidikan merupakan cara untuk membangun diri supaya terus-menerus mendekat kepada Tuhan.
Salah satu cara yang diajarkan ialah dengan mempelajari, merenungkan, dan berusaha mempraktikkan asma al-husna, nama-nama Tuhan yang melambangkan kebajikan dan keutamaan. Sebagai contoh, berdasarkan nama al-Rahman, yang berarti Maha Pengasih, manusia belajar dan berusaha supaya memiliki sifat welas-asih, yakni mengasihi diri, keluarga, sesama manusia dan semesta alam.
Konsep transendensi ini dengan demikian mengajarkan manusia untuk merealisasikan jihad dalam makna generiknya, yakni berusaha secara sungguh-sungguh untuk berbuat baik. Ini tentu saja berbeda dari makna jihad yang dipraktikkan kelompok Islamis, yang menghalalkan darah, harta-benda, atau bahkan tindakan tanpa perikemanusian terhadap manusia dan makhluk Tuhan lainnya.
Hasil dari laku tarbiah dengan demikian ialah kesadaran kemanusiaan dan kemampuan untuk bertindak mandiri dalam konteks kultural dan sosial serta keharusan untuk memelihara alam semesta. Di sini, manusia berlaku sebagai khalifah, wakil atau representasi kebajikan Tuhan di muka bumi.
Jika dibandingkan, konsep tarbiah sampai taraf tertentu berpadanan dengan konsep bildung dalam khazanah pendidikan populer, terutama karena asek pembangunan manusia dan transendensinya. Dalam bildung diandaikan bahwa pendidikan hendaklah berawal dari kenyataan bertempatnya manusia dalam satu lingkungan budaya dan masyarakat, dengan agama dan tradisi merupakan bagian yang tak terpisahkan.
Dalam wahana pendidikan yang alamiah ini terjadi proses individuasi, yakni bagaimana pribadi-pribadi ‘menjadi’ dengan kekhasan masing-masing. Namun, itu tidak berarti terdapat kebebasan dalam makna liberal-Hobbesian yang menafikan kearifan, martabat manusia, dan etika yang berlaku universal.
Yang dituju dalam laku belajar ialah kemampuan untuk hidup dengan tindakan pribadi maupun sosial dikelola supaya berdasar pada pertimbangan nalar dan pengetahuan. Kebaikan dan kemajuan masyarakat selanjutnya merupakan hasil dari sumbangan pikiran dan kerja pribadi-pribadi yang bernurani dan berbudi.
Dalam bildung terdapat ketakberhentian proses mengada bahwa manusia secara dinamis terus belajar dan mendidik diri. Selalu berlaku proses mencari, menemukan, dan mengalami makna, baik di dalam maupun di luar lembaga pendidikan. Kegiatan berefleksi, berdialog, dan mencoba merupakan tindakan belajar. Bildung dengan demikian menekankan pentingnya membangun kemampuan kritis bertujuan dan bertanggung jawab.
Singkat kata, bildung adalah konsep yang memusat pada keterbelajaran manusia supaya mampu berkehendak, menalar, bertindak, menilai, dan bertanggung jawab. Tujuan pendidikan seperti ini dalam khazanah pendidikan disebut sebagai proses membangun agensi manusiawi (human agency).
Berdasarkan makna tarbiah dan bildung di atas, paling kurang terdapat dua hal yang bisa dikedepankan terkait dengan praktik pendidikan saat ini, termasuk model yang diadaptasi dalam penyelenggaraan pendidikan agama (dan dalam berbagai kegiatan pendidikan di bulan Ramadan). Pertama, rekayasa pengetahuan dan pendidikan, yang memosisikan manusia sebagai objek yang pasif, justru hanya akan ‘memesinkan’ manusia. Termasuk dalam hal ini upaya standardisasi atau penyeragaman pendidikan, yang pada hakikatnya menafikan keberadaan manusia sebagai subjek yang unik dan diciptakan untuk mampu mandiri.
Konsep rekayasa sendiri berawal dari kebutuhan masifikasi pendidikan, yang didesain demi menyeragamkan ‘program’ berdasarkan umur atau tingkat pendidikan. Konsekuensinya, manusia sebagai subjek dengan segala bawaan alamiahnya dipaksa untuk tunduk dan menerima konsep-konsep yang berasal dari luar dirinya atau tidak sesuai dengan kebutuhan tumbuh-kembangnya.
Seperti pisau bermata dua, rekayasa pendidikan yang sedianya diniatkan sebagai alat untuk mengelola pendidikan justru memasung ruang gerak pendidikan itu sendiri. Murid tersandera menjadi semacam robot atau mesin yang didesain untuk diinstalasi dengan program-program tertentu. Para guru atau ustaz tersandera menjadi ‘operator’ yang tugas utamanya ialah memastikan supaya proses instalasi itu terjadi.
Oleh karena itu, asumsi bahwa pengetahuan, sikap, serta keterampilan yang tepat dan diperlukan manusia bisa diketahui, dirumuskan, disusun, dan dievaluasi ‘para ahli’ perlu dicermati lagi. Termasuk dalam hal ini asumsi bahwa guru atau ustaz sebagai yang ‘serba’-tahu dan karena itu sering seperti berposisi ma’sum atau tak bisa salah.
Idealnya ialah bahwa manusia harus menjadi ‘tuan’ bagi proses belajarnya sendiri. Adanya buku-buku dan sumber belajar lain merupakan alat bantu yang bisa digunakan. Orang yang lebih tahu (the more knowledgeable others), seperti guru atau ustaz, berperan memfasilitasi sebagai kawan dialog dan tempat bertanya yang reflektif.
Kedua, kegiatan-kegiatan Ramadan–seperti pesantren atau majelis pengajian–juga bukanlah pabrik atau alat cetak untuk memproduksi keluaran yang seragam sebagaimana yang diinginkan. Yang lebih tepat ialah menjadikan lembaga-lembaga tersebut sebagai wahana tumbuh-kembang diri dengan hasil yang berbeda-beda.
Sesuai perspektif tarbiah dan bildung, kegiatan Ramadan justru akan lebih bermanfaat jika dijadikan wahana belajar alamiah tentang, dengan, dan dari lingkungan kultural dan sosial tempat di mana seseorang berada. Ini jauh berbeda dari ceramah-ceramah yang berisi ujaran kebencian atau praktik pendidikan ‘kering’ yang menafikan kemanusiaan.
Akhir kata, Ramadan tidak hadir sebagai wujud ketidakpercayaan Tuhan terhadap manusia sehingga mereka harus selalu ditakut-takuti dengan ancaman neraka. Sebaliknya, Ramadan hadir sebagai rahmat, media bagi manusia untuk belajar dan bertransendensi, serta mengalami dan menikmati kebersamaan. Wallaahu a’lam bi al-shawwaab.
Khairil Azhar, Divisi Pelatihan Pendidikan Yayasan Sukma