Pintar tapi Mager
GENERASI zaman now adalah generasi baru yang sejak kecil sudah akrab dengan dunia digital. Jika angkatan lama lebih akrab dengan media cetak seperti koran, majalah, dan buku, juga media elektronik seperti radio dan televisi, generasi sekarang sejak usia dini lekat dengan gadget. Sudah menjadi pemandangan umum di manamana, anak bermain gim atau menonton fi lm kartun di telepon seluler (ponsel). Youtube menjadi ‘teman’ bermain dan sumber petualangan imajinatif anak. Mereka ini disebut dengan digital native, pribumi digital alias penduduk asli dunia maya. Adapun generasi tua, bapak-ibu dan kakek-nenek mereka, dikenal sebagai digital immigrant, pengungsi digital, atau pendatang baru di dunia maya yang berasal dari dunia lama yang sarat dengan kertas dan barang cetakan.
Di era digital dengan dominasi internet di hampir semua lini kehidupan, kini lahir budaya baru; bedroom culture. Semua cukup dilakukan dari tempat tidur. Akibatnya anak menjadi malas bergerak, mager. ‘Mager tapi laper?’ (begitu tagline iklan sebuah perusahaan ojek berbasis aplikasi), tinggal buka aplikasi, pesan dan pengemudi ojek dengan siap melaksanakan tugas mengantarkan pesanan untuk memuaskan selera kuliner kita. Kecenderungan orang untuk malas bergerak akan semakin menemukan momentumnya. Teknologi informasi dan model bisnis daring di era ini memfasilitasi kecenderungan kita untuk mager. Akses informasi sangat mudah, hampir tanpa batas, dan cukup dilakukan dari kamar tidur. Anak sekolah ke depan, karenanya akan cenderung semakin pinter tapi mager.
Dalam kondisi demikian dapat dipahami manakala pelajaran olahraga atau pendidikan jasmani–tempo doeloe disebut PD atau kini PJOK–bukan saja jamnya sedikit, melainkan juga sering dipandang sebelah mata oleh kebanyakan siswa. Pelajaran ini jarang disikapi dengan gegap gempita oleh warga belajar, dengan antusiasme yang tinggi, malah tidak jarang dianggap sebagai beban. Apalagi jika dilakukan pada siang hari yang panas; sesi diikuti dengan setengah hati, sekadar memenuhi kewajiban kurikulum. Sikap siswa terhadap pendidikan jasmani berbanding terbalik dengan apa yang mereka lakukan terhadap mata pelajaran andalan, utamanya yang akan diujikan dalam ujian nasional.
Problem obesitas anak
Manakala gerak fi sik minimal olahraga diabaikan, obesitas anak menjadi persoalan endemik di berbagai belahan dunia, utamanya di negara-negara dengan tingkat kesejahteraan penduduknya yang lebih baik. Berbeda dengan anak-anak di negara berkembang yang masih berkutat dengan persoalan gizi buruk, anak-anak di negara maju justru bermasalah dengan ‘kelebihan gizi’. Obesitas karenanya menjadi masalah sosial yang tidak sederhana dan telah menjadi tren global (WHO: 1997).
Padahal, sebagaimana ditunjukkan dalam berbagai studi, anak dengan masalah obesitas memiliki risiko lebih tinggi mengalami berbagai masalah kesehatan. Masalah kejiwaan juga kerap dialami anak-anak dengan kelebihan berat badan dan obesitas ini, seperti isolasi sosial dan potensi disfungsi psikologis (Friedman, Story dan Perry, 1995; Must, 1996; Must and Strauss, 1999). Dalam kultur kita, anak-anak muda dengan kelebihan berat badan sering kali digambarkan sebagai jelek, bodoh, tidak jujur, dan malas. Oleh karena itu pula mereka kemudian kerap menjadi objek perundungan.
Anak-anak semacam ini juga memiliki morbiditas lebih tinggi apabila dibandingkan dengan rekan-rekannya yang lebih kurus. Mereka lebih rentan terpapar penyakit. Sekadar menyebut contoh, anak dengan masalah obesitas lebih berisiko terkena asma, dan terbukti cenderung menggunakan lebih banyak obat untuk menyembuhkannya, mendesah lebih banyak, melakukan lebih banyak kunjungan tak terjadwal ke rumah sakit, dan lebih sering tidak masuk sekolah sebagai akibat dari asmanya, manakala dibandingkan dengan anak-anak penderita asma yang kurus (Belamarich et al., 2000; Luder, Melnik dan DiMaio, 1998).
Dalam jangka pendek, anak dengan masalah obesitas cenderung mengalami masalah gastrointestinal, kardiovaskular, endokrin dan ortopedi tertentu, bila dibandingkan dengan rekan sejawatnya yang relatif lebih kurus. Risiko ini dapat memburuk dalam jangka panjang. Penelitian juga menunjukkan gadis dengan kelebihan berat badan atau kegemukan cenderung mengidap kelainan sistem reproduksi seperti pubertas dan menarche yang lebih awal, dan sindrom ovarium polikistik (polycystic ovary syndrome/PCOS) yang menggangu keseimbangan kadar hormonal (Goran, 2001; Must, 1996; Must and Strauss, 1999; Taitz, 1983). Pada sindrom ini, tubuh wanita memproduksi hormon laki-laki (androgen) secara berlebihan sehingga menyebabkan beberapa masalah kesehatan yang serius, seperti infertilitas.
Data dari penelitian longitudinal bahkan memberikan informasi yang lebih menyakinkan bahwa dalam jangka panjang prevalensi faktor risiko penyakit kardiovaskular terus meningkat dari waktu kewaktu seiring dengan kelebihan berat badan dan obesitas (Goran, 2001). Singkatnya, kegemukan yang berlanjut sejak kecil hingga dewasa akan meningkatkan risiko morbiditas. Anak menjadi sangat rentan terkena berbagai gangguan, baik fisik maupun psikologis.
Secara etiologis, obesitas dapat disebabkan berbagai faktor. Selain faktor keturunan, faktor lingkungan yang tidak menguntungkan disebut sebagai biang keladinya. Faktor lingkungan seperti diet dan aktivitas fi sik sangat besar kontribusinya pada obesitas (Weinsier dkk, 1998). Meningkatnya konsumsi produk makanan olahan yang mengandung lemak jenuh dan kadar gula tinggi telah lama diketahui sebagai faktor asupan energi utama yang berkontribusi terhadap kelebihan berat badan dan obesitas pada orang dewasa. Di sejumlah negara, termasuk Amerika Serikat, ada bukti aktivitas fi sik di kalangan kaum muda telah mengalami penurunan dalam beberapa dekade terakhir dan bersamaan dengan itu diikuti peningkatan prevalensi obesitas (Luepker, 1999). Hal yang sama juga dilaporkan terjadi di Australia (Dollman dkk, 1999).
Gaya hidup sehat Olahraga sebenarnya tidak hanya terkait dengan kesehatan jasmani semata, tapi juga berhubungan erat dengan pengembangan semangat juang warga belajar. Olahraga melatih siswa untuk membiasakan diri bersikap sportif, menyukai tugas yang menantang, selalu mencari kesempatan untuk memuaskan rasa ingin unggul, bertanggung jawab terhadap tugas, gigih berusaha mewujudkan impian, berani mengambil risiko, dan senang menerima umpan balik dari pekerjaannya. Semangat untuk berjuang meraih cita-cita setinggi langit dapat ditumbuhkan dari sini.
Manakala olahraga dilakukan siswa dengan benar dan rutin, yang bersangkutan tanpa sengaja telah belajar self-regulation, pengaturan diri. Sebuah kapasitas yang sangat diperlukan agar individu dapat melakukan interaksi sosial dengan berhasil. Tanpa pengaturan diri yang baik, kerukunan hidup sulit diperoleh. Minus kemampuan ini akan meningkatkan konflik antarpribadi. Melalui aneka permainan olahraga, siswa dilatih untuk mampu mengendalikan amarah, mengatasi kesedihan, memiliki daya tahan terhadap stres, penyesuaiaan diri, integritas pribadi, dan sanggup menata diri untuk menggapai tujuan jangka panjang.
Team work (kerja tim) adalah manfaat lain olahraga. Dengan berolahraga siswa belajar untuk dapat melakukan negosiasi terhadap pandangan yang berbeda, memiliki pemahaman yang jelas akan peran diri dan anggota kelompoknya, mengembangkan kekuatan masing-masing yang saling mendukung, saling menghormati dalam berinteraksi, meningkatkan rasa saling percaya, dan berinteraksi secara harmonis dalam kelompok. Kerja tim adalah kapasitas yang sangat dibutuhkan siswa ke depan. Tidak sedikit survei membuktikan, salah satu kemampuan penting yang diperlukan seseorang agar dapat sukses di dunia kerja ialah kemampuan bekerja dalam kelompok.
Dengan demikian, tarikan yang sangat kuat dari bedroom culture di era ini harus diimbangi dengan penguatan gaya hidup sehat. Gaya hidup yang tidak semata dengan mempertimbangkan asupan gizi yang seimbang. Namun, yang lebih penting dari itu ialah menjadikan olehraga tidak terbatas sebagai mata pelajaran di sekolah, tapi juga menjadi gaya hidup. Tiada hari tanpa olahraga. Jika filosof Muhammad Iqbal berteriak di dunia ini tidak ada tempat untuk berhenti, berhenti berarti mati, maka teriakan itu perlu dilengkapi dengan slogan, di dunia ini tidak ada hari tanpa olahraga, berhenti olahraga berarti celaka.
Khoiruddin BashoriPsikolog Pendidikan Yayasan Sukma Jakarta | Media Indonesia, 11 Desember 2017