Piknik dan Keberagaman
DALAM Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata piknik bermakna bepergian ke suatu tempat di luar kota untuk bersenang-senang dengan membawa bekal makanan dsb. Namun, terminologi piknik hari ini telah bergeser maknanya menjadi lebih luas. Piknik bukan saja dimaknai sebagai tamasya mengisi hari libur maupun akhir pekan ke destinasi-destinasi wisata sebagaimana makna dalam KBBI.
Itu juga dimaknai sebagai upaya sekaligus kemauan mengenal hal-hal baru. Karena itu, kurang piknik menjadi frasa sarkastis yang cukup sering kita dengar untuk menengarai orang-orang dengan gelagat berpikir jumud, ultrakonservatif, dan sulit menerima sesuatu yang baru. Lantas, mengapa menghindari ’kurang piknik’ menjadi penting?
Makna piknik
Dewasa ini, praktik-praktik relasi dalam masyarakat kita yang terlalu mudah menghakimi tanpa melakukan tabayyun setidaknya mengindikasikan dua faktor. Pertama, kurangnya piknik intelektualitas yang seiring rendahnya tingkat literasi masyarakat kita. Berdasarkan penelitian yang diadakan Jhon W Miller, Presiden Central Connecticut State University, New Britain, dalam The World’s Most Literate Nations (WMLN) pada 2016 terhadap 61 negara di dunia, disebutkan bahwa tingkat literasi masyarakat Indonesia berada pada urutan ke-60.
Fakta ini menunjukkan bahwa fenomena kegemaran melakukan penghakiman tanpa pemahaman jernih atas masalah di tengah masyarakat kita terkait erat rendahnya tingkat literasi masyarakat. Keengganan sebagian besar masyarakat kita untuk membaca dan menelaah dengan saksama informasi yang mereka dapatkan menghasilkan kekisruhan di banyak tempat dan berpotensi mengancam keutuhan bangsa ini.
Kedua, kurangnya piknik dalam makna sebenarnya. Hal ini senada dengan ungkapan Ibnu Batuthah (1304-1369)–salah satu penjelajah terbesar dalam sejarah Islam–yang menyatakan, ”Who lives sees, but who travels sees more.” Mereka yang berani menjelajah akan lebih banyak melihat dan belajar. Tidak hanya berdiam diri di suatu tempat dan menjelajah ke banyak tempat di belahan dunia ini harus dipandang sebagai sebuah kebutuhan bagi setiap individu agar dapat memahami dunia ini dari banyak sudut pandang sehingga seseorang tidak akan pernah merasa bahwa kebenaran hanyalah berasal dari apa yang ia lihat di sekitarnya semata.
Dilansir Travel Story, terdapat 5 negara di dunia yang penduduknya paling sering melancong alias piknik, AS, Jepang, Austria, Selandia Baru, dan Kanada. Di balik gemarnya piknik para masyarakat di negaranegara itu, terdapat fakta menarik lainnya bahwa negara-negara seperti Kanada, AS, Jepang, dan Australia merupakan negara-negara yang dianggap paling open-minded di dunia (Insidermonkey.com, 22/07/2015).
Jika merujuk pada kedua fakta di atas, terdapat korelasi yang menarik. Negara dengan warga yang gemar piknik telah menjadikan komunitas masyarakat di negara-negara itu menjadi cukup terbuka. Keterbukaan ini ditunjukkan oleh sikap masyarakatnya yang toleran dan tidak mudah terprovokasi oleh isu-isu perbedaan.
Nah, bagaimana dengan kuantitas piknik masyarakat Indonesia? Diperkirakan bahwa jumlah penduduk Indonesia yang melancong ke luar negeri jumlahnya berkisar 10 juta jiwa setiap tahunnya. Menurut laporan Mastercard bertajuk Future of Outbound Travel in Asia Pasifi k 2016 to 2021, jumlah wisatawan Indonesia yang piknik ke luar negeri diperkirakan akan mencapai 10,6 juta orang.
Secara kuantitas, jumlah itu tampak cukup banyak. Namun, jika dibandingkan dengan total populasi penduduk negeri ini yang ditaksir lebih dari 262 juta jiwa, jumlah itu masih kurang dari 5% total penduduk Indonesia. Hal ini dapat diartikan bahwa masih sedikit sekali orang Indonesia yang memiliki kesempatan untuk menjelajah dan memupuk pengalaman melihat tempat selain lingkungan mereka.
Pengalaman dan penjelajahan yang minimal ini menghasilkan gambaran yang terlalu kecil tentang apa yang ’berbeda’ dalam benak mereka sehingga kesulitan untuk memahami berbagai isu perbedaan semakin terasa besar bagi mereka yang tidak memiliki banyak pengalaman akan ’yang berbeda’ dari mereka. Tentu saja masih banyak faktor yang memengaruhi kemampuan seseorang untuk memahami perbedaan. Namun, kesempatan menjelajah dan mendapatkan pengalaman baru akan mengundang lebih banyak informasi yang dapat ditimbang menyikapi isu perbedaan.
Piknik dalam pendidikan
Dalam ruang pendidikan, ’piknik’ dapat diterjemahkan dalam berbagai bentuk kegiatan di sekolah, seperti pertukaran guru, pertukaran pelajar, study tour atau menjalin kerja sama antarsekolah atau institusi pendidikan (school to school atau sister school program). Pengalaman dalam beberapa program itu dapat mendorong mereka yang terlibat mencapai tingkatan baru dalam silaturahim.
Pengalaman Sekolah Sukma Bangsa, Aceh, bekerja sama dengan beberapa sekolah di AS dalam bentuk school to school program yang diprakarsai lembaga nirlaba asal ’Negeri Paman Sam’ itu, America’s Unofficial Ambassador (AUA), memberi pengalaman berharga tidak hanya bagi siswa, tetapi juga bagi relawan yang berkunjung ke sekolah.
Bertemu langsung dengan guru tamu yang merupakan warga negara asing dengan latar belakang budaya yang berbeda memberikan pengalaman berharga bagi para siswa dan komunitas sekolah untuk melihat langsung, terbiasa dan pada akhirnya menghargai perbedaan.
Melalui program semacam ini, pelajaran mensyukuri keberagaman ciptaan Tuhan, hadir dalam praktik nyata di sekolah. Di sisi lain, para relawan yang datang pun membawa pulang pengalaman yang tidak kalah berharga dalam hidupnya. Keramahan, kehangatan, dan toleransi yang ditunjukkan keluarga komunitas sekolah dan masyarakat sekitar dalam menyambut kedatangan mereka memberikan cara pandang berbeda tentang budaya Aceh dan Indonesia– khususnya dunia Islam–yang sering digambarkan media Barat sebagai dunia penuh kekerasan dan kekejaman.
Fakta ini memberikan pesan bahwa ’piknik’ sejatinya kebutuhan bagi setiap individu di zaman ini. Inovasi teknologi telah membuat dunia saat ini tidak bersekat sama sekali. Pergumulan ragam perbedaan mulai ideologi, agama, budaya, ras, hingga warna kulit tidak dapat dihindari. Menyikapi perbedaan dengan penuh rasa curiga hanya mempertegas ketidakmampuan kita dalam memahami titah Tuhan tentang keberagaman.
Karena itu, berpiknik, menjelajah ke banyak tempat, bertemu banyak orang yang berbeda dan bersilaturahim dengan mereka, sejatinya akan mengantarkan kita pada cara pandang yang berbeda pula, yaitu memandang perbedaan dan keberagaman sebagai kekayaan dan karunia Tuhan yang harus kita jaga bersama. Mari!
Marthunis, Direktur Sekolah Sukma Bangsa Pidie, Aceh | Media Indonesia, 19 Maret 2018