Pendidikan Sadar Hukum
SUATU pagi di tengah kesibukan dan kesemrawutan lalu lintas kota, anak kecil dengan seragam merah putihnya lengkap dengan topi dan tas di pinggangnya bersepeda dengan penuh semangat. Pemandangan yang biasa, memang. Namun, yang mencengangkan ialah sikap santainya di tengah kerumunan kendaraan, terus mengayuh sepedanya dengan melanggar lampu lalu lintas, tanpa peduli dengan sekelilingnya. Seolah tidak tahu bahwa di depannya lampu merah sedang menyala. Pun tidak peduli dengan kemungkinan bahaya yang akan menimpanya. Yang juga menarik, tidak ada satu pun orang yang menegurnya. Perilaku anak itu sepertinya memang bukan fenomena yang aneh dalam masyarakat kita.
Apa sejatinya yang membuat masyarakat menaati aturan hukum? Apakah hukum dibuat untuk sekadar menjadi hiasan kehidupan? Sejak masa klasik para pemikir memang sudah mendebatkan permasalahan ini. Mengapa orang tunduk atau mengkhianati aturan hukum menjadi pertanyaan yang selalu saja berujung pada keragaman pandangan pada persoalan utilitas institusi hukum itu sendiri.
Persoalan ketaatan hukum tentunya tidak dapat dipisahkan dengan aras persoalan pendidikan hukum kita. Sejauh mana lembaga pendidikan kita, terutama di tingkat dasar dan menengah, mampu memberikan dasar-dasar pemahaman tentang makna dan fungsi hukum dalam tatanan kehidupan? Bagaimana agar para peserta didik mampu menginternalisasikan hukum dalam kehidupan keseharian karena hukum eksis dan mengejawantah dalam persoalan sehari-hari? Paham utilitas hukum memahami hukum sebagai sarana mendasar bagi semua anggota masyarakat agar dapat menjalani hidup dengan baik dan sejahtera.
Pendidikan hukum
Jika demikian, pelajaran hukum seharusnya bukan hanya studi tentang rumus-rumus pengakalan suatu kasus dan persoalan hukum yang muncul dalam masyarakat (legal reasoning). Namun, lebih dari itu, harus mampu menghidupkan kesadaran dalam diri setiap nurani masyarakat terhadap eksistensi hukum itu sendiri. Hukum dalam maknanya yang seperti ini bukanlah entitas elite yang hanya menjadi menu silabus bagi peserta didik di tingkat lembaga pendidikan tinggi saja. Anak didik pada tingkat-tingkat awal harus sudah mulai dikenalkan dan disadarkan perlunya menyadari keperluan kita terhadap hukum. Berbagai bentuk lembaga dan rambu aturan berada dalam samudra kehidupan, yang mereka semua harus mampu menyelam supaya selamat, tidak mati tenggelam tertelan arus derasnya.
Dalam pemahaman ini, pendidikan hukum hakikatnya merupakan proses kesadaran diri setiap peserta didik pada tataran awal terhadap fungsi dasarnya sebagai anggota masyarakat. Pelajaran tentang hukum bukanlah mata kuliah di perguruan tinggi yang pendidikan itu ditujukan untuk usaha penciptaan tenaga profesional yang memiliki kompetensi dan keterampilan kuat dalam bidang teori dan praktik hukum. Secara substansial, pendidikan hukum ialah bagian dari ilmu humaniora yang bermuara pada penyempurnaan pemahaman peserta didik dalam aspek-aspek praksis keseharian kehidupan mereka. Tradisi dan institusi masyarakat yang merefl eksikan nilai-nilai normatif dalam kehidupan modern dan berkemajuan, dapat dikenalkan sejak dini dalam setiap diri untuk membangun kesadaran setiap peserta didik. Di sinilah sejatinya pembelajaran hukum mempunyai posisi yang sangat penting dalam sistem pendidikan suatu bangsa karena tujuan makro pendidikan untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan beradab itu dapat dicapai melalui pendidikan hukum di tingkat pendidikan dini.
Hukum dan moral masyarakat
Jika pendidikan sebagai arena kreasi sumber daya manusia unggul, dia harus mampu melahirkan pribadi dengan level kesadaran hukum yang tinggi. Dalam hal ini, Lawrence Kohlberg (From Is to Ought: How to Commit the Naturalistic Fallacy and Get Away with It in the Study of Moral Development, 1971) menerangkan keterkaitan antara ketaatan hukum dan tingkat perkembangan orientasi moral masyarakat, dengan membaginya ke dalam enam tingkatan.
Pertama, obedience and punishment orientation, yang menggambarkan ketaatan pada hukum itu bergantung pada tingkat ketakutan dan ketertarik an orang pada hukuman dan janji pahala. Semakin tinggi hukuman bakal semakin mendorong orang untuk sadar akan kepentingan hukum. Kedua, self interest orientation, yang mengakibatkan kecenderungan masyarakat untuk selalu menegosiasikan suatu aturan agar sesuai dengan keinginan mereka. Ketiga, interpersonal accord and conformity melahirkan sikap untuk selalu menyesuaikan dirinya dengan mayoritas. Keempat, authority and socialorder maintaining orientation, dengan ketaatan pada hukum tergantung pada sejauh mana orang menghormati suatu otoritas. Kelima, social contract orientation, masyarakat mendasarkan ketaatannya pada komitmen sosial yang telah dibuat. Keenam, universal ethical principles, ketaatan hukum didasarkan semata pada kesadaran yang tinggi pada kepentingan hukum, prinsip-prinsip dan tingkah laku individual yang dewasa, seperti sikap saling percaya dan penghormatan pada nilai-nilai kemanusiaan.
Teori di atas mengandaikan hubungan erat antara tingkat moral seseorang dan sikap kesadarannya terhadap suatu aturan hukum. Di sini, pendidikan kita yakini sebagai sarana yang sangat baik untuk mendewasakan moral seseorang dalam menyikapi suatu aturan hukum. Jika demikian adanya, pendidikan kesadaran hukum harus dilakukan tidak hanya pada level tinggi dari lembaga pendidikan kita, tetapi harus sedari awalnya dengan, misalnya, memberikan pemahaman kepada anak didik berbagai nilai dan tradisi normatif yang hidup dalam masyarakat kita sehingga pada gilirannya akan muncul kesadaran mereka untuk menghormati dan menaati aturan itu.
Pendidikan hukum harus dihubungkan dengan tingkat perkembangan moral manusia yang pada gilirannya akan berkontribusi pada pendewasaan masyarakat dalam bersikap dan berperilaku dalam kehidupan sehari-hari. Mengacu Kohlberg, jelas sekali bahwa pada masyarakat yang telah maju dan berkeadaban, kesadaran hukum itu tidak semata digantungkan pada lembaga-lembaga pemegang otoritas hukum. Ia lebih didasarkan pada kemampuan setiap individu memahami makna dan utilitas institusi hukum dalam kerangka besarnya menciptakan satuan masyarakat global yang teratur dan berpikiran unggul.
Pada siklus masyarakat postmodern, hukum tidak lagi diikat dalam relasinya dengan kekuasaan eksternal pribadi seseorang, yang biasanya mengejawantah dalam sistem-sistem kuasa, tetapi justru berada di dasar jiwa setiap individu. Dengan demikian, pendidikan kesadaran hukum pada esensinya ialah proses pembelajaran untuk membantu peserta didik agar mampu menjadi individu yang beradab, berkepribadian unggul dan positif bagi pemajuan kualitas hidup suatu bangsa.
Ratno Lukito, Direktur Riset dan Publikasi Yayasan Sukma