Pendidikan Politik Keluarga
MEMASUKI tahun politik, perhatian khalayak terhadap dinamika politik lokal dan nasional meningkat tajam. Jika biasanya hanya politikus dan pejabat publik yang antusias mendiskusikan isu-isu politik kontemporer, kini pedagang pasar, ibu-ibu rumah tangga, dan bahkan anak-anak sekolah tidak ketinggalan ikut mengekspresikan pendapat politik mereka baik lewat obrolan langsung maupun via media sosial. Terkadang perbedaan pilihan politik disikapi dengan rileks dan wajar. Namun, tak jarang perbedaan diselesaikan dengan permusuhan.
Ketidakmatangan dalam menyikapi perbedaan memiliki akar jauh dalam keluarga. Keluarga dengan ikatan emosional yang kuat dan sering mendiskusikan urusan kemasyarakatan dengan anak-anak, cenderung memiliki pengaruh lebih besar dalam perkembangan politik anak. Namun, manakala keluarga tidak membangun kesetiaan partisan yang jelas, anak-anak cenderung baru mulai terlibat secara politis ketika mereka mencapai kedewasaan.
Orang memperoleh budaya politik melalui proses yang dikenal dengan sosialisasi politik. Sosialisasi politik terjadi dalam banyak cara, tetapi keluarga ialah yang utama. Anak kecil biasanya menghabiskan lebih banyak waktu bersama keluarga sehingga dapat dipahami mengapa anak cenderung menginternalisasi kebiasaan, keyakinan, perilaku, dan sikap keluarga.
Transformasi politik
Keluarga dengan tingkat kohesivitas yang tinggi cenderung mencoba menyelesaikan pertentangan politik yang muncul di antara mereka melalui diskusi. Hal itu mendorong diskusi politik menjadi lebih menonjol dalam keluarga. Ketika politik sudah menjadi menu diskusi harian bagi anak-anak, mereka dengan lebih mudah dapat berpartisipasi dalam kehidupan politik (Covert dan Wasburn: 2017). Percakapan politik tidak selalu dimulai dari orangtua. Diskusi yang diprakarsai anak-anak tentang kurikulum kewarganegaraan, kampanye yang sedang berlangsung, atau acara berita utama lainnya dapat pula merangsang orang tua untuk lebih memperhatikan masalah-masalah politik.
Anak-anak mengamati dan cenderung menyerap antusiasme politik orangtua di rumah. Keluarga-keluarga yang terbiasa melakukan diskusi politik tak hanya memancarkan informasi politik, tetapi juga memunculkan identifikasi partai yang positif dan menanamkan rasa tertarik secara politis.
Pada usianya yang lebih dini, anak dari keluarga yang menunjukkan minat politik tinggi akan mendapatkan atmosfer politik yang lebih intens. Sementara itu, bagi orang dewasa, mendapatkan informasi politik, memiliki identifikasi partai, dan memiliki kayakinan bahwa seseorang dapat memiliki dampak penting pada urusan politik lebih banyak didapat melalui pencarian diri. Kesadaran pribadilah yang lebih mendorong partisipasi dalam kehidupan politik.
Di samping itu, daya tarik kerabat merupakan tema penting juga dalam kajian sosialisasi politik. Meski keluarga memiliki otoritas terkuat bagi pembentukan opini dan sikap politik anggotanya, berdasarkan berbagai penelitian, ditemukan data bahwa pada kenyataannya sikap politik anak tidak selalu sejajar dengan sikap politik orangtua mereka. Hal itu, misalnya, terjadi pada kasus ketika sikap politik orangtua berbeda dengan sikap politik teman sebaya anak. Bagi anak, keadaan demikian menyebabkan kebingungan apakah akan mengikuti sikap orangtua atau lebih memperhatikan aspirasi teman sebayanya.
Keadaan demikian tidak jarang melahirkan sikap golput pada anak sebagai upaya untuk menghindari berbedaan pilihan politik. Pada akhirnya sikap politik anak lebih ditentukan seberapa tertarik, seberapa dekat, anak dengan orangtua dan sahabat karib mereka.
Kesamaan pendapat kedua orangtua merupakan variabel penting yang akan menentukan bagaimana sikap politik anak ketika dihadapkan pada persoalan-persoalan kemasyarakatan kontemporer. Kajian psikologi menunjukkan secara umum pengaruh keluarga cenderung lebih kuat ketika sudut pandang anggota ialah homogen. Perlu dicatat, individu dengan orangtua yang mendukung pihak yang berbeda cenderung tidak memiliki preferensi partai yang kuat daripada mereka yang berasal dari keluarga dengan kedua orangtua mendukung pihak yang sama.
Kesamaan sikap dan pilihan politik kedua orangtua itu memiliki pengaruh yang lebih kuat pada sikap dan pilihan politik anak bila dibandingkan dengan anak dengan orangtua yang tidak memiliki kesamaan sikap politik. Pada gilirannya, identifikasi pihak yang lemah cenderung dikaitkan secara negatif dengan keterlibatan politik. Dengan demikian, kemampuan orangtua untuk menanamkan orientasi partisan dipengaruhi kesepakatan orangtua. Sejauh mana orangtua setuju satu sama lain tampaknya memiliki peran lebih penting, daripada faktor lain seperti demografi wilayah atau karakteristik pribadi seperti ras dan jenis kelamin.
Bagaimana dengan orangtua tunggal? Entah disebabkan perceraian entah pasangan meninggal. Apa hubungannya dengan pendidikan politik, manakala mayoritas yang menjadi single-parent ialah perempuan? Tidak dapat disangkal lagi, dalam keluarga seperti ini, perempuanlah yang menjalankan peran sebagai sumber pengetahuan politik bagi keluarganya. Dengan demikian, pengetahuan sang ibu dalam bidang politik yang akan dijadikan sebagai rujukan utama oleh anak dalam perkembangnya menuju kedewasaan sekalipun saat mereka dewasa tidak tertutup kemungkinan untuk memperkuat pemaham atau bahkan mengembangkan pandangan politik yang berbeda.
Ketidaktertarikan ibu terhadap isu-isu politik kontemporer, dan minimnya keterliban dalam berbagai aktivitas politik, dapat menyebabnya kecilnya sumber informasi politik yang dapat diperoleh anak dari keluarga. Oleh karena itu, sosialisasi politik sudah seharusnya diprioritaskan pada konstituen perempuan agar dapat menjadi ‘narasumber’ politik yang memadai bagi anak-anak mereka.
Sosialisasi lintas generasi
Pendidikan politik dalam keluarga bukan sekadar proses transformasi dua generasi, lebih tepatnya tiga generasi. Orangtua merupakan agen sosialisasi politik yang berada di tengah. Pada awalnya orangtua memperoleh agenda dan sikap-sikap politik dari orangtua mereka kemudian meneruskan kepada generasi anak mereka meskipun dalam perjalanan sering pula diubah pengalaman politik pribadi mereka sendiri. Data menunjukkan transmisi identifikasi partai politik melemah dari generasi pertama hingga ketiga.
Kajian psikologi politik menginformasikan bagaimana proses sosialisasi politik akan berbeda jika orangtua sebagai ‘generasi tengah’ tidak hadir. Hari ini, tidak sedikit anak yang dibesarkan kakek dan nenek, bukan oleh orangtua. Itu berarti tugas pendidikan politik langsung diambil alih oleh generasi pertama karena ketiadaan generasi kedua. Ketika kakek-nenek mempertahankan kehadiran sehari-hari mereka dalam kehidupan cucu-cucu, cucu cenderung memperoleh beberapa nilai penting dan keyakinan politik dari kakek-nenek.
Sudah menjadi ketentuan zaman, sikap sosial politik masyarakat cenderung berbeda antargenerasi, seiring dengan berlalunya waktu. Perbedaan tantangan yang dihadapi sering kali menyebabkan perbedaan pilihan sikap politik lintas generasi. Ketika generasi lama cenderung melihat politik secara ideologis, bisa jadi generasi sekarang lebih pragmatis, lebih berorientasi pada ketertarikan program dan kesamaan kepentingan. Kalau dahulu orang fanatik dengan tokoh dan partai tertentu, kini generasi baru lebih cair dalam memandang realitas politik. Pindah partai dan pilihan tokoh menjadi fenomena jamak.
Demikianlah, keluarga cenderung menjadi sumber sosialisasi politik yang paling penting. Keluarga kebanyakan menanamkan budaya politik secara tidak sengaja dengan bertindak sebagai contoh bagi anak-anak. Sangat sering, orang-orang dewasa memiliki keyakinan politik yang mirip dengan orangtua mereka. Jika keluarga bersikap positif terhadap proses demokrasi, tentu akan berdampak positif terhadap perkembangan budaya politik anak. Jika sebaliknya yang terjadi, keluarga pesimistis dengan dinamika politik kontemporer, tidak tertutup kemungkinan apatisme politik yang akan diwariskan kepada anak.
Penulis: Khoiruddin Bashori Psikolog Pendidikan Yayasan Sukma Jakarta
Pada: Senin, 21 Jan 2019, 04:45 WIB OPINI