Menulis dan Mendidik
SEBAGAI pendidik, sudah sepantasnya jika guru mengerahkan seluruh kemampuannya demi memberikan ilmu terbaik bagi siswa. Guru dituntut menjadi panutan yang memberi contoh positif dalam keseharian anak didiknya. Tak mengherankan jika seluruh gerak-gerik seorang guru dinilai oleh anak didiknya.
Dalam sebuah peribahasa, seorang guru ialah pelita bagi dunia, yang memiliki makna bahwa guru ialah cahaya bagi kegelapan dan kebodohan. Melalui pendidikan, guru menunjukkan jalan yang terang menuju kebaikan.
Guru mendidik dari siswa belajar menulis, mengeja, hingga mereka di bangku kuliah. Begitu istimewanya kedudukan guru sehingga sering dalam terminologi agama, ia ialah ‘tangga surga’. (Muhammad Nur Irawan:2002).
Berbicara kiprah dan peran seorang guru di masa serbacanggih seperti sekarang ini, guru tidak hanya dituntut dapat mengajar dengan baik. Guru juga diharapkan memiliki keterampilan lain yang dapat mengembangkan potensi dirinya sebagai pendidik. Salah satunya ialah menjadi guru pencinta literasi, yaitu seorang yang tidak pernah lelah untuk terus menggali informasi dan mengembangkan diri dalam berbagai tantangan zaman. Demi menjadi guru pencinta literasi, salah satu kegiatan yang dapat dilakukan ialah membiasakan diri untuk menulis.
Namun, menulis bagi kebanyakan guru, selalu menjadi momok dan memunculkan rasa malas, bosan atau tak percaya diri. Dalam banyak kasus, menulis ialah beban atau rintangan yang sulit untuk dikalahkan. Dalam banyak kesempatan, seorang guru yang mendapatkan tugas untuk menulis sebagai kelengkapan administrasi/formalitas belaka, bahkan harus membayar orang lain untuk menyelesaikan tugasnya. Sebagai pendidik yang seharusnya menjadi panutan, hal tersebut ialah tindakan yang tidak bijak dan tidak terpuji.
Semua orang bisa menjadi penulis. Tanpa disadari pun, kita sering melakukan aktivitas menulis. Setiap hari kita menulis status atau pesan di berbagai aplikasi media sosial seperti Facebook, Instagram, Twitter, atau WhatApp. Meski yang kita tuliskan ialah sekadar komentar atas kejadian terkini atau curahan hati atas keadaan atau kondisi tertentu, aktivitas yang dilakukan sesunguhnya ialah menulis.
Apakah kemampuan menulis itu bakat atau sesuatu yang dapat dilatih? Sebagai seorang pendidik, kita harus percaya bahwa yang menentukan seseorang disebut penulis ialah kemauannya untuk menulis. Selama seseorang bersedia memupuk kemauan untuk menulis, kemampuannya akan semakin terasah.
Kendala dalam menulis
Jika menulis itu hal yang mudah, kendala apa yang membuat guru merasa sulit dalam menulis? Sebagian guru mengatakan, alasan yang membuat sulit dalam menulis ialah memilih kata-kata, menyusun kalimat di awal tulisan, atau menentukan ide yang akan ditulis. Beberapa kendala yang sering dikeluhkan ialah; pertama, malas membaca. Padahal, membaca merupakan jantungnya literasi. Orang sering menyimpulkan bahwa membaca merupakan hal yang membosankan. Jika kebiasaan membaca tidak ditumbuhkan, sulit bagi seseorang untuk mulai menulis. Membaca akan memberi kesempatan bagi guru untuk mendapatkan berbagai ilmu atau informasi baru. Kedua, suka menunda (procrastinating). Kebiasaan untuk menunda hal-hal baik yang sudah diniatkan atau direncanakan hanya berujung pada kemalasan untuk menyelesaikan sebuah pekerjaan.
Ketiga, kurang pengalaman. Pengalaman akan memberi kemudahan dalam menulis. Pengalaman meliputi juga pengalaman membaca atau bertanya. Selain membaca lebih sering dan lebih banyak, berdiskusi atau bertanya pada orang yang dianggap mampu ialah pengalaman yang baik. Lebih dari itu, pengalaman hanya akan didapat jika seorang guru sudah mencoba untuk menulis, apapun hasilnya.
Keempat, tidak dinamis. Guru yang enggan memulai menulis, bisa jadi ialah cerminan orang yang tidak berani berkembang atau tidak menghargai dinamika kehidupan. Hal ini bisa diatasi dengan memberanikan diri bergaul dalam lingkungan yang dekat dengan semangat dan roh literasi atau di sekeliling orang dianggap ahli atau menguasai bidangnya.
Kelima, gampang putus asa. Merupakan faktor yang harus dibuang jauh-jauh dari setiap individu, terutama guru. Ada sebagian guru berhenti menulis karena berkali-kali ikut kompetisi tetapi tidak pernah menang. Ada juga yang mengirimkan banyak tulisan namun tak satupun yang diterbitkan oleh redaksi. Yang perlu diingat sesungguhnya adalah, jika tulisan guru tidak diterbitkan atau memenangkan kompetisi, ia setidaknya telah menghasilkan sesuatu yang bisa dinikmati orang lain.
Lalu, apa solusinya dari semua kendala mental (mental block) tersebut? Perlu bagi seorang guru untuk selalu memahami bahwa menulis bukanlah sebuah beban. Menulis merupakan salah satu kegiatan ibadah. Dengan membaca tulisan kita, maka orang lain akan bertambah ilmunya atau setidaknya mendapatkan informasi baru.
Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk memulai kegiatan menulis bagi guru; pertama, seorang guru harus yakin bahwa ia bisa menulis. Yang ia perlukan adalah kemauan yang kuat dan bulat. Kedua, membuat target tentang tema yang akan dibahas dan ditulis. Membuat catatan-catatan kecil mengenainya akan membantu. Ketiga, memperbanyak membaca buku-buku motivasi agar kemauan menulis semakin meningkat dalam diri kita.
Keempat, memulai menulis ringan, seiring kata hati. Kemudian memperbanyak referensi agar tulisan lebih terarah. Bila perlu lakukan diskusi secara khusus dengan orang yang paham di bidang/topik itu.
Kelima, jika rasa bosan menghampiri, berhenti sejenak dan mencoba mencari inspirasi baru dengan melakukan kegiatan ringan seperti jalan-jalan, mengunjungi suatu tempat atau datang ke tempat wisata buku.
Keenam, komitmen. tetaplah menulis, meski tak ada apresiasi dari siapapun. Penting bagi guru untuk menikmati proses menulis sebagai bagian keseharian. Ketujuh, tidak perlu segan dan sungkan untuk meminta saran dari orang lain. Kritik atas tulisan yang dihasilkan tidak perlu dijadikan beban dan menggerus rasa optimis.
Menulis akan menghasilkan santapan ilmu yang bisa berguna bagi siapapun yang membacanya. Keterampilan menulis juga merupakan kemampuan yang harus dimiliki seorang pendidik di zaman yang berubah cepat. Dengan banyak menulis, guru sesungguhnya menjangkau dan mendidik lebih banyak anak bangsa. Bapak dan ibu guru, ayo menulis!
Amna Wati, Guru Sekolah Sukma Bangsa Lhokseumawe