Menimbang Sekolah Siaga Bencana
KEMAMPUAN mitigasi bencana menjadi sangat penting untuk didiskusikan kembali. Dalam dua dekade terakhir, setidaknya 12 bencana besar yang telah melanda Tanah Air dengan kerusakan dan kerugian jiwa, fisik, ekonomi, pendidikan, dan lingkungan.
Rentetan bencana-bencana tersebut dimulai dengan gempa bumi dan tsunami Aceh dan Nias (2004), sampai gempa bumi dan tsunami Palu (2018) dan tsunami Selat Sunda (2018) (Sekretariat Nasional Satuan Pendidikan Aman Bencana: 2017).
Bencana mustahil dihindari, tetapi kewajiban untuk bersiap dan responsif dengan segala rencana pencegahan dan perlindungan ialah hal yang bisa dan harus dilakukan. Tanpa persiapan, bencana minor seperti pasang purnama atau banjir musiman saja akan menyebabkan korban dan kerusakan besar. Dengan rencana, bencana yang lebih besar dapat ditekan jumlah korban dan risiko kerusakannya.
Sayangnya, Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang sangat lemah dalam kebijakan pencegahan dan perlindungan bencana alam baik dari segi anggaran, konsep, maupun teknologi (United Nations Office for Disaster Risk Reduction [UNISDR]: 2014).
Mitigasi bencana di sekolah
Menurut UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, mitigasi bencana ialah ‘serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana’.
Indonesia sebagai salah satu negara yang paling sering terdampak oleh bencana besar karena secara geografis terletak di antara tiga lempeng besar (Eurasia, Indoaustralia, dan Pasifik) dan termasuk dalam zona ring of fire. Indonesia telah memulai proyek mitigasi bencana nasional secara yuridis dengan diterbitkannya UU Penanggulangan Bencana pada 2007. Dilanjutkan dengan didirikannya Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) beserta Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BNPD) pada 2008. Sementara itu, perumusan konsep sekolah siaga bencana (SSB)) telah dimulai setelah bencana besar tsunami Aceh-Nias, yaitu sekitar 2006.
Dengan menimbang keterbatasan kemampuan pemerintah dalam mengampanyekan mitigasi bencana secara nasional melalui program-program sosial, sektor pendidikan dituntut berperan aktif untuk mencerdaskan siswa khususnya dan masyarakat umumnya tentang program mitigasi bencana nasional. Satuan pendidikan/sekolah harus membangun program pendidikan, pengetahuan, inovasi, dan budaya agar siswa dan masyarakat memahami tindakan preventif menghadapi bencana.
Sekolah ialah lembaga yang sangat efektif dalam mengubah pola pikir dan perilaku masyarakat, dengan memberikan edukasi mengenai mitigasi bencana (Astuti dan Sudaryo: 2010). Sekolah ialah unit yang cukup potensial untuk digarap sebagai banteng menghadapi bencana. Warga sekolah sebagai golongan yang kritis, cerdas, dan energik memiliki resources menjanjikan untuk dijadikan model lembaga penanggulangan bencana, bukan hanya agar mereka bisa menyelamatkan diri sendiri ketika bencana datang, melainkan juga menyelamatkan warga sekitar.
Literasi bencana harus dimulai dari satuan pendidikan terendah (PAUD/SD) sampai tingkatan tertinggi (perguruan tinggi) agar pemahaman, perlindungan, dan pencegahan bencana dapat diimplementasikan masyarakat secara holistik dan komprehensif.
Dalam rangka mitigasi bencana, pemberian edukasi dan pemahaman kebencanaan ialah hal pertama yang sangat penting diajarkan kepada warga sekolah. Sekolah perlu mendiskusikan dan mencari pola pemberian pemahaman tentang pentingnya siaga bencana melalui program lokakarya dan drilling aksi-aksi respons cepat untuk mitigasi bencana. Selain itu, kampanye aktif tentang mitigasi bencana perlu dilakukan secara terus-menerus sehingga menjadi isu utama di sekolah, melalui berbagai kegiatan dalam ruang lingkup kurikulum, kokurikulum, dan ektrakurikulum.
Berbagai kegiatan
Pertama, kegiatan yang berbasis kurikulum. Guru mata pelajaran diharapkan mengidentifikasi semua KD (kompetensi dasar) yang tersedia dalam semester berjalan, untuk kemudian menentukan satu atau dua KD yang punya kaitan erat dengan isu kebencanaan. Selanjutnya, untuk memberi pemahaman kepada para siswa tentang konsep dan praktik mitigasi bencana serta membangun dialog dan lokakarya seputar topik tersebut, guru akan mengundang seorang narasumber (guest teacher) mitigasi bencana dari komunitas di sekitar sekolah.
Jika gagasan ini diterapkan untuk semua mata pelajaran satuan pendidikan SMA yang berjumlah sekitar 10-12 mata pelajaran, para siswa akan terpapar dengan minimal 10 konsep dan praktik tentang kebencanaan dalam setiap semesternya.
Sementara itu, kelompok guru mata pelajaran yang memiliki KD yang identik dengan kesiagaan bencana bisa menggagas adanya sebuah class project dengan para siswa antarmata pelajaran bekerja sama untuk menciptakan sebuah model/produk mitigasi bencana. Jika setiap produk digagas 2-3 mapel saja, dalam satu semester sekolah minimal akan memiliki 5 produk/model alat siaga bencana yang akan bisa dimanfaatkan kapan pun bencana terjadi.
Kedua, kegiatan yang berbasis kokurikulum. Guru atau sekelompok guru mata pelajaran diharapkan mampu menggagas sebuah school visit ke lokasi-lokasi yang terdampak bencana atau berpotensi terdampak bencana untuk seterusnya mengobservasi, merencanakan, serta mendesain sebuah pola survival dan drilling untuk mengantisipasi ancaman bencana yang akan terjadi. Dengan program ini, sekolah mampu melakukan literasi bencana untuk kawasan-kawasan tersebut sehingga para warganya akan melek bencana dan lebih proaktif untuk melakukan kampanye kebencaaan untuk keluarganya.
Jika dalam 1 semester sekolah bisa menyelenggarakan minimal 5 school visit, akan ada 5 kawasan yang berpotensi terdampak bencana terselamatkan. Penyelenggarakan program ini secara rutin akan memicu terciptanya pola-pola aksi mitigasi bencana dalam setiap kegiatan sehari-hari warga.
Ketiga, kegiatan yang berbasis ekstrakurikuler. Sekolah diharapkan mampu menjalankan program ekstrakurikuler etnopedagogi untuk seluruh siswanya, bahkan untuk seluruh warga sekolah. Etnopedagogi adalah salah satu praktik pendidikan berbasis kearifan lokal serta menekankan pengetahuan atau kearifan lokal sebagai sumber inovasi dan keterampilan yang dapat diberdayakan demi kesejahteraan masyarakat (Putu Eka Suarmika, dkk: 2017).
Pentingnya peran kearifan lokal dalam mitigasi bencana tergambar dalam peristiwa tsunami Aceh 2004 di Pulau Simeulue. Penduduk pulau kala itu paham dan ingat betul akan petuah nenek moyang mereka tentang smong. Teriakan smong membuat para warga lari ke bukit ketika air laut surut sehingga ketika air laut naik kembali ke darat dalam bentuk tsunami, warga pulau terselamatkan walaupun pulau Simeulue ialah salah satu daerah terdekat dengan pusat bencana gempa dan tsunami (M Nur Djuli: 2018).
Akhirnya, melalui kerja sama dan perencanaan yang terstruktur, masif, dan serius, serta dukungan para siswa dan generasi muda untuk menjadi penggerak gerakan hidup sadar bencana. Indonesia diharapkan dapat menjadi negara pelopor mitigasi bencana untuk dunia agar mimpi berdamai dengan alam akan segera terwujud. Wallahu a’lam.
Penulis: Fachrurrazi Kepala SMA Sukma Bangsa Bireuen, Aceh
Pada: Senin, 07 Jan 2019, 04:15 WIB OPINI