Membangun Kepekaan Sosial, Mengajarkan Perdamaian
“APA yang ingin Anda lihat dari anak didik Anda 15 atau 20 tahun mendatang?” saya ajukan pertanyaan itu kepada beberapa guru. Jawaban yang mereka berikan serupa, yaitu ingin agar anak-anak didik bisa meraih cita-citanya, memiliki karakter yang baik, sukses, atau juga membuat lapangan kerja sendiri.
Ada juga yang menambahkan, ingin agar anak-anak didik mereka bisa bermanfaat untuk keluarganya dan orang-orang terdekatnya. Hampir semuanya berfokus pada keberhasilan anak didiknya sebagai makhluk individu. Sangat sedikit guru yang menjawab ingin melihat anak didik mereka menjadi orang yang bisa membantu menyelesaikan masalah-masalah sosial di masyarakat. Mungkin ini tidak bisa mewakili jawaban dari seluruh guru di Indonesia, tetapi tidak dimungkiri masih ada guru-guru yang berpandangan seperti itu.
Apakah pendidikan seperti ini yang kita inginkan? Anak didik yang berhasil sebagai makhluk individu, tetapi kurang terlatih sebagai makhluk sosial. Anak didik yang mengedepankan sikap kompetitif untuk keberhasilan diri, bukan anak didik yang mampu membangun perilaku kooperatif dan kolaboratif, yang menyadari bahwa mereka hidup berdampingan dengan orang dan makhluk hidup lain dan perlu menjaga kelangsungan hidup bersama. Anak didik yang mampu memanfaatkan sumber daya untuk kesuksesannya, bukan anak didik yang sadar bahwa mereka harus memperhatikan juga kebutuhan generasi masa depan sehingga mereka akan menggunakan sumber daya secara bijak dan menjamin keberlanjutannya.
Beberapa kegiatan pembelajaran di sekolah masih dirancang untuk memperkuat anak didik sebagai makhluk individu dan belum diimbangi dengan penekanan pada pentingnya anak didik untuk bisa bertindak sebagai makhluk sosial. Beberapa guru masih melihat kegiatan pembelajaran di kelas sebagai fenomena yang terpisah dari situasi yang ada di luar kelas maupun sekolah. Jika ada guru menggunakan masalah sosial di masyarakat sebagai contoh kasus dalam kegiatan pembelajaran, penggunaan contoh tersebut bukan didasari atas kesadaran bahwa kegiatan pembelajaran di kelas punya kaitan dengan kehidupan di luar kelas, tetapi lebih pada memenuhi kewajiban kurikulum yang mensyaratkan penggunaan contoh tersebut dalam kegiatan pembelajaran.
UU Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003 menyatakan tujuan keseimbangan yang ingin dicapai melalui pendidikan nasional; anak didik yang berhasil sebagai makhluk individu dan sekaligus berperan aktif dalam posisinya sebagai makhluk sosial. Untuk itu, kita perlu melakukan transformasi pada kegiatan pendidikan kita.
Tiga bentuk kekerasan
Transformasi kegiatan pendidikan yang membuat anak didik sadar atas perannya sebagai makhluk sosial, dimulai dengan mengasah kepekaan sosial mereka sejak dini. Anak didik perlu menumbuhkan kepekaannya pada isu-isu politik, ekonomi, kesehatan, pendidikan, lingkungan, dan lainnya yang memengaruhi bukan hanya kehidupan pribadi, melainkan juga masyarakat luas hingga tingkat global. Untuk itu, anak didik perlu dibekali dengan pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang menunjang, yang ketiganya bisa ditemukan dalam konsep pendidikan perdamaian.
Pendidikan perdamaian oleh sebagian orang dimaknai sebagai pendidikan yang bertujuan membuat individu mampu menyelesaikan masalah-masalah interpersonal secara damai. Akan tetapi, jika kita mengacu pada pengertian damai yang disampaikan Johan Galtung, seorang peneliti perdamaian, mengenai perdamaian positif, perdamaian memiliki makna yang lebih luas. Galtung (1990) menyatakan bahwa perdamaian positif adalah kondisi yang bukan hanya tidak terjadi lagi kekerasan langsung yang bersifat fisik, verbal, dan psikis seperti yang terjadi dalam perang dan konflik dengan kekerasan lainnya, melainkan juga ketika tidak ada lagi kekerasan struktural dan kekerasan kultural.
Kekerasan struktural merupakan kekerasan yang tersembunyi dalam struktur kekuasaan, dibangun dan terwujud dalam bentuk distribusi kekuasaan yang tidak seimbang, dan sebagai hasilnya ialah munculnya ketidakseimbangan kesempatan bagi anggota masyarakat dalam memenuhi hak-hak dasarnya, seperti masyarakat yang tidak bisa mendapatkan pelayanan kesehatan dan pendidikan dikarenakan sistem pemerintahan yang tidak berjalan dengan semestinya. Sementara itu, kekerasan kultural dipahami sebagai bagian dari budaya yang dapat disalahgunakan untuk memperbolehkan penggunaan kekerasan langsung maupun kekerasan struktural. Kekerasan kultural melibatkan perasaan, norma, tingkah laku, dan nilai yang dianut oleh masyarakat, seperti diskriminasi oleh masyarakat terhadap kelompok-kelompok tertentu, atau adanya pemahaman masyarakat yang salah, tetapi masih dilanggengkan, seperti pembatasan terhadap hak-hak perempuan.
Dengan menggunakan definisi perdamaian positif tadi, pendidikan perdamaian bisa dimaknai sebagai pendidikan untuk membekali individu dengan pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang bisa digunakan untuk menyelesaikan masalah-masalah kekerasan langsung, struktural, dan kultural, yang menjadi sumber ketiadaan perdamaian di masyarakat. Lalu, apa saja pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang perlu diajarkan dalam pendidikan perdamaian?
Perilaku damai
Castro dan Galace (2010) memberikan beberapa alternatif pengetahuan, keterampilan, dan perilaku damai yang bisa diajarkan kepada anak didik. Dalam lingkup pengetahuan, kita perlu mengajarkan pemahaman tentang perdamaian yang menyeluruh; perdamaian yang bukan hanya ketika tidak ada lagi peperangan, melainkan juga ketika berbagai masalah di masyarakat yang bersumber dari kekerasan struktural dan kultural juga terselesaikan.
Anak didik juga perlu untuk memahami perbedaan antara konflik dan kekerasan. Konflik bukanlah sesuatu yang harus dihindari, melainkan perlu diselesaikan dengan cara nirkekerasan. Jika konflik bisa diselesaikan dengan cara nirkekerasan, bisa memberikan pembelajaran yang positif. Anak didik perlu mengenal berbagai konsep seperti, nirkekerasan, transformasi konflik, dan pembangunan yang berkelanjutan.
Selain pengetahuan, anak didik juga perlu untuk memiliki beberapa keterampilan dasar yang bermanfaat untuk mewujudkan perdamaian. Keterampilan-keterampilan tersebut meliputi kemampuan berpikir reflektif yang membantu anak didik memahami dirinya dengan lebih baik dan menyadari relasi antara dirinya dan orang serta makhluk lain. Anak didik juga perlu memiliki kemampuan analisis dan berpikir kritis, berkomunikasi yang efektif, mengambil keputusan, berpikir kreatif, mengelola konflik, membangun empati, dan bekerja dalam kelompok.
Pengetahuan dan keterampilan tadi perlu dilengkapi dengan perilaku yang mendukung. Untuk itu, anak didik perlu diajarkan dan dibiasakan dengan perilaku-perilaku seperti menghargai diri sendiri, menghargai orang lain, menghargai hak hidup setiap makhluk, menjunjung kesetaraan gender, kasih sayang, peduli pada dunia, peduli pada lingkungan, kerjasama dan kolaborasi, keterbukaan dan toleransi, keadilan, tanggung jawab sosial, dan memiliki visi yang positif.
Peran pendidik
Untuk mendampingi anak didik bertansformasi menjadi manusia yang berkembang dari sisi individu dan sosialnya, para pendidik juga perlu menginternalisasi pengetahuan, keterampilan, dan perilaku di atas. Pendidik, dalam hal ini guru di sekolah dan orangtua di rumah akan menjadi role model bagi anak didik. Selain itu, para pendidik juga perlu memiliki kemampuan untuk mengintegrasikan pengetahuan, keterampilan, dan perilaku damai dalam kegiatan belajar dan pembiasaan dalam kehidupan sehari-hari, baik di lingkungan sekolah maupun di luar sekolah.
Salah satu contoh bentuk kegiatan sederhana, tapi bermakna yang bisa dilakukan ialah mengajak anak didik untuk mengingat satu fenomena sosial yang terkait dengan kekerasan langsung, kekerasan struktural, atau kekerasan kultural, yang dia lihat dalam perjalanan menuju atau sepulang sekolah. Fenomena tersebut digunakan sebagai bahan diskusi kritis untuk membahas mengapa situasi tersebut terjadi dan apa solusi kreatif yang bisa diambil untuk merespon situasi tersebut. Pembiasaan diskusi mengenai fenomena sosial ini jika dilakukan secara kontinu, akan membantu anak didik untuk membangun kepekaan sosialnya. Selain itu, jika para pendidik bisa berpikir kreatif, mereka bisa membantu anak didik untuk memahami relasi antara apa yang mereka pelajari di dalam kelas dan fenomena sosial di masyarakat.
Pada akhirnya, kita semua harus menyadari tidak hidup sendiri dan tidak bisa hidup sendiri. Perlu disadari apa yang kita lakukan secara individu akan berdampak pada lingkungan sosial. Ketika ingin hidup damai, kita juga harus mengajak dan membuat lingkungan menjadi damai. Semua itu diawali dari kepekaan kita atas perdamaian yang menyeluruh.
Penulis: Dody Wibowo Mahasiswa Program Doktoral Pendidikan Perdamaian di The University of Otago, Selandia Baru
Pada: Senin, 01 Apr 2019