Melawan Korupsi Politik
BELUM lama kita memperingati HUT ke-73 kemerdekaan RI dan kesuksesan penyelenggaraan Asian Games 2018, kita disentak berita korupsi 41 anggota DPRD Kota Malang. Praktik korupsi nyaris sistematis dengan model grand and petty corruption–dan telah melibatkan banyak elite kita di parlemen, eksekutif, dan penegak hukum.
Hal itu seakan menegaskan bahwa korupsi menjadi kanker sosial yang menyerang seluruh sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Praktik korupsi bertentangan dengan tujuan kemerdekaan dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu mencerdaskan bangsa, yang mengandung makna multidimensi, yaitu intelektual, sosial, kultural, moral, dan spiritual.
Selain itu, korupsi merusak kehidupan demokrasi dan moralitas bangsa. Secara substansial, apakah korupsi politik itu? Mengapa korupsi poltik tumbuh subur dan apa implikasinya? Bagaimana pendidikan antikorupsi (kesadaran melawan tindak koruptif) dipraktikkan?
Substansi dan praktik korupsi politik
Apakah korupsi politik itu? Jawabannya tidak dapat dilepaskan dari pengertian substansial korupsi. Korupsi merupakan perilaku menyimpang dalam melakukan tugas atau tindakan, melanggar peraturan (norma) formal yang harus ditegakkan seseorang yang memangkukekuasaan (otoritas), untuk menda patkan keuntungan atau kepentingan pribadi seperti harta, kekuasaan, atau status (Amundsen: 1999).
Korupsi merupakan penyalahgunaan kepercayaan, yang pada umumnya dilakukan pemilik kewenangan untuk mendapatkan keuntungan pribadi, biasanya berupa uang.
Korupsi juga merupakan cara bagi kelompok elite membangun tameng politik di masyarakat dan memenangi kerja sama dalam parlemen dan birokrasi.
Korupsi bagi pengusaha dan investor merupakan jalan mendobrak sumbatan birokratis, sebuah informal price system dalam ekonomi yang diatur secara ketat (Amundsen:1999).
Korupsi juga terjadi manakala kepentingan pribadi (kekayaan) tumpang-tindih dengan kekuasaan publik yang diemban. Selain itu, korupsi merupakan wujud hasrat kuat untuk menggunakan cara-cara yang tidak legal.
Misalnya, dalam transaksi seseorang atau perusahaan memberikan sogokan kepada pejabat untuk memperoleh sesuatu. Atau seseorang yang menduduki posisi memberikan setoran pada yang mempunyai kekuatan politik untuk kelangsungan jabatannya (Lambs-dorff: 2006).
Korupsi politik merupakan penyalahgunaan kekuasaan pemangku kekuasaan untuk memperoleh keuntungan pribadi secara tidak absah. Ada beberapa segmen dalam konteks ini.
Pertama, penyalahgunaan kekuasaan melibatkan pembuat UU atau peraturan seperti legislatif.
Korupsi legislatif menunjukkan cara atau style yang memberi pengaruh buruk terhadap perilaku legislator. Legislator, misalnya, meminta dana pelicin atau disuap kelompok yang berkepentingan terhadap pembuatan peraturan bagi kepentingan partai dan pribadi.
Contohnya keputusan tentang penjualan aset negara, ‘membeli suara agar seseorang sebagai legislator dipilih kembali atau untuk kepentingan posisi seseorang dalam eksekutif yang membutuhkan dukungan suara di parlemen (Jain: 2001; Amundsen:1999; Yadav: 2011).
Praktik korupsi itu mempunyai pertautan dengan organisasi politik (parpol). Hal itu berkaitan dengan
dana yang merupakan masalah umum yang dihadapi organisasi politik. Parpol dituntut memiliki sumber keuangan yang memadai untuk kegiatan-kegiatan politik yang menyedot banyak dana.
Kurangnya keterbukaan tentang keuangan partai, peraturan pemerintah yang tidak efektif atau tidak
memadai, kedekatan yang undesirable antara penyandang dana utama dan kepemimpinan parpol dapat menimbulkan tindakan yang berlawanan dengan demokrasi yang kini kita tegakkan (William: 2000).
Kedua, korupsi politik terjadi ketika pengambil kebijakan (birokrat/eksekutif) menggunakan kekuasaan politik demi kesinambungan kekuasaan, jabatan, status dan harta (William: 2000).
Korupsi birokrat menunjuk praktik korup seseorang pejabat dalam deal dengan superior (elite politik)
dan atau dengan publik. Korupsi birokrat dalam deal dengan publik (petty corruption) dilakukan dalam bentuk publik memberi suap atau layanan khusus untuk mempercepat penanganan urusan yang
prosedurnya terlalu birokratis. Atau birokrat/eksekutif memberi suap elite politik untuk pelaksanaan tugas yang diamanatkan pada eksekutif melalui wakilnya (Jain: 2001).
Bentuk lainnya birokasi memanfaatkan ketidakjelasan aturan dan pelaporan pajak yang tidak akuntabel untuk menekan perusahaan sehingga mereka harus memberi sesuatu (suap) (Roessau: 2008).
Ketiga, korupsi politik dalam kaitan dengan penegak hukum. Korupsi itu berkaitan dengan penanganan keadilan, dengan korupsi dilakukan untuk meringankan hukuman atau membebaskan seseorang dari hukuman.
Model praktik korupsi bergantung prinsip keseimbangan ‘pasar’, yakni pengadaan dan permintaan jasa yang mengakibatkan tawar-menawar biaya dan imbalan jasa kepada aparat penegak hukum (Jain:
2001).
Korupsi politik merupakan pelanggaran suatu kontrak. Biasanya berhubungan dengan delegalisasi tanggung jawab dan pelaksanaan kekuasaan atau kewenangan yang tidak ketat oleh suatu lembaga yang bertindak membantu kelompok ketiga meski bantuan itu bertentangan dengan kepentingan masyarakat (William: 2000; Amundsen: 1999).
Pendidikan intoleransi terhadap korupsi
Mewujudkan praksis pendidikan antikorupsi bagi publik khususnya para elite bukan pekerjaan mudah.
Mereka umumnya mengetahui peraturan karena kebanyakan berpendidikan tinggi. Oleh sebab itu, banyak hal perlu dilaksanakan dalam gerakan antikorupsi, seperti penegakan hukum, transparansi, dan akuntabilitas sistem pelayanan publik.
Dari sisi pendidikan, hal yang dapat dilakukan, antara lain, pertama, menanamkan nilai-nilai keadaban seperti amanah, tanggung jawab, sikap kritis melalui berbagai media dan program.
Kedua, mengefektifkan lembaga masyarakat sebagai wadah mewujudkan contoh baik tentang perilaku yang diperlukan untuk menangkal tindakan koruptif. Ketiga, mengefektifkan pendidikan politik di partai yang memiliki misi dan berorientasi pada substansi.
Bukan hanya pada formal politik seperti pemilu, kampanye, atau sejenisnya, melainkan melalui (a) pendidikan emosi politik, yakni menumbuhkan dan mengembangkan rasa solidaritas dan (meningkatkan) kebencian (tidak toleran) terhadap ketidakadilan, termasuk tindakan korup, dan (b) revitalisasi pemahaman tentang kesadaran kritis akan politik, misalnya kesadaran akan apa yang dilakukan elite-elitedi parlemen, eksekutif, dan penegak hukum terhadap kekuasaan yang diberikan kepada mereka (Ruiten-erg, N/A; Dumas and Dumas: 1996;Davies: 2005).
Keempat, pendidikan politik ialah pengembangan melek politik atau kesadaran politik, yaitu kemampuan memahami konfl ik kepentingan dan cita-cita setiap kelompok, menghargai kebebasan, persamaan, toleransi, keyakinan, dan pemikiran orang lain (Clarke: 2007) yang termasuk sikap intoleransi terhadap korupsi karena korupsi bisa merusak kesehatan demokrasi dan moralitas bangsa.
Fuad Fachruddin
Divisi Penjaminan Mutu Pendidikan
Yayasan Sukma