Lock down, Lagi!
Bagi yang lahir di era 80-an mungkin masih ingat pada tahun setelah 1999 pernah terjadi lock down di kota Lhokseumawe. Saya tidak tahu kota di Aceh yang lain apakah terjadi hal yang sama karena di tahun sebelum 2010 informasi dengan sarana internet tidak secepat dan secanggih sekarang. Masa lock down kala itu disebabkan konflik yang muncul di permukaan. Ba’da reformasi tahun 1998 yang terjadi di Indonesia menyebabkan mencuatnya konflik Aceh yang sebelum itu hanya dirasakan di daerah-daerah tertentu. Namun tahun 1999 seluruh Aceh mengalaminya, tak di kampung tak di kota, Aceh beku.
Di era itu, masa sekolah bagi saya sungguh sangat berharga. Betapa tidak, sekolah bahkan pernah libur sebulan penuh karena konflik. Suara dentuman bom dan peluru yang meluncur dari sarangnya serta bau mesiu seperti nyanyian alam yang biasa terdengar. Keadaan itu memaksa pemerintah daerah mengambil kebijakan libur sekolah. Kalaupun bersekolah, dalam sebulan setidaknya dua atau satu minggu pasti libur lagi. Belum lagi libur ketika perayaan hari besar nasional maupun hari besar keagamaan. Dan lagi Aceh juga libur di bulan Ramadhan.
Suasana konflik juga menyebabkan kesemrawutan dalam kehidupan masyarakat. Salah satunya pemadaman listrik. Aceh pernah merasakan tanpa listrik selama berbulan-bulan non-stop. Nyalanya hanya beberapa jam di waktu tertentu. Dapat dibayangkan akan betapa bodohnya generasi Aceh. Saya merasakan itu. Betapa tidak, dengan singkatnya masa aktif sekolah, belajar seadanya, ditemani malam dengan PR dalam gelap, temaramnya sinar panyot menemani masa ujian dan tentu tak ada internet yang secepat, mudah dan canggih seperti sekarang.
Saya mendengar kata komputer saat masih memakai seragam putih-biru, tanpa tahu wujudnya seperti apa. Mungkin beberapa siswa seusia saya ada yang sudah punya perangkatnya di rumah mereka. Tapi saya jamin itu sangat sangat tidak banyak. Saat itu saya belajar mengetik dengan mesin tik dan termasuk beruntung karena setidaknya saya pernah mengenal mesin tik sebab ada juga yang bahkan tidak sempat berinteraksi dengan mesin tua itu. Sebegitunya lah Aceh tertinggal.
Menjadi siswa berseragam putih-abu-abu adalah saat pertama saya bersentuhan dengan benda bernama komputer. Masih perlu disket untuk mengoperasikannya, sekarang malah ada yang tidak tau apa itu disket ya?. Tahun berikutnya playstation mulai muncul di Lhokseumawe dan langsung marak, sejak saat itulah internet muncul di Aceh. Namun hanya segelintir orang yang memakainya, beberapa anak orang kaya yang menghabiskan jajannya di warung internet dan beberapa instansi perkantoran yang membutuhkan layanan internet, sangat jarang.
Paparan kisah diatas menunjukkan bahwa lock down saat ini dengan saat itu berbeda jauh. Sangat jauh. Dari segi penyebabnya tentu saja. Imbasnya apalagi. Tapi saya ingin kita melihat dari segi dunia pendidikan. Lock down masa konflik tidak menyediakan ruang bagi siswa untuk memperkaya ilmunya, menambah wawasannya, melatih kemampuan yang dimilikinya, mengasah daya pikirnya ataupun sarana untuk menantang dirinya menjadi lebih baik. Siswa saat itu hanya pasrah menerima nasib sekolahnya yang vakum. Tentu berpikir “ah kan ada buku”, ingat saat itu konflik, buku sangat terbatas. Dengan kondisi konflik dapat dibayangkan berapa gelintir orang yang dapat memiliki buku pribadi untuk dibawa pulang.
Lock downhari ini sangat meresahkan, tapi disisi lain, kita masih punya solusi untuk banyak hal dengan fasilitas internet sekarang, salah satunya di dunia pendidikan. Kota bisa saja mati dan beku tanpa aktivitas di luar, namun ranah berpikir dan berkreasi tak boleh mati. Inilah yang pada akhirnya hampir semua sekolah masih beraktivitas melakukan kegiatan belajar dan mengajar secara daring. Tujuannya sederhana untuk memenuhi hak siswa dalam menuntut ilmu.
KBM secara daring menjadi tantangan tersendiri bagi gurunya. Guru dituntut untuk dapat memandu siswa untuk memahami materi tanpa harus tatap muka. Karena itu, guru harus dapat menyusun rencana pembelajaran yang sesuai dan tepat. Merancang aktivitas KBM tidak monoton yang melulu tugas. Guru juga dituntut untuk dapat merangsang keingintahuan siswa terhadap materi yang sedang diajarkan, untuk itu perlu pendampingan, tentu saja lewat dunia maya. Guru juga mestinya dapat membangkitkan motivasi siswa untuk tetap belajar walau tidak diawasi langsung. Guru juga dituntut untuk kreatif memilih sarana belajar untuk semua tipe murid, apakah lewat video, slide, e-book, atau sumber bacaan lainnya.
Dan semua itu tidak mudah. Sangat tidak mudah. Tantangan ini menuntut guru untuk lebih memperkaya diri dengan banyak hal, baik sarana pembelajaran daring maupun konten yang harus dikuasainya. Jujur, bagi saya pribadi ini tantangan yang menarik. Setidaknya ada banyak hal yang mesti saya pelajari. Hal-hal yang dimiliki oleh guru daring, bagi saya, dimulai hari ini, Kamis tanggal 26 Maret 2020. Untuk pertama kalinya saya memandu kelas secara onlinesetelah sepekan lalu hanya memantau siswa yang ikut Ujian Tengah Semester Online.
Harapan saya di kelas daring perdana ini besar. Saya bahkan bersiap-siap jika ada siswa yang akan bertanya secara video call via wa. (Fyi, daring Sekolah Sukma Bangsa menggunakan aplikasi Google Classroom). Ditunggu-tunggu tidak ada satu pun siswa yang menelpon untuk hal semacam itu. Kecewa pasti. Penasaran juga. Jelas saya penasaran, apakah siswa saya benar-benar paham atau tidak. Setelah menunggu beberapa saat ada salah seorang siswa yang chat via wa, ”ibu yang nomor satu begini kan ngerjaiinnya?”. Sungguh pertanyaan ini membuat hati saya lega, oh ternyata mereka paham. Sebenarnya siswa lain ada juga bertanya, tapi semua pertanyaannya, “bu tugasnya dikumpul kemana, wa atau email?”. Artinya mereka lebih mementingkan menyelesaikan tugas, dan di satu sisi itu hal yang baik juga saya pikir.
Tentu selalu ada kendala untuk hal yang pertama kita lakukan. Secara pribadi kendala saya adalah mengerjakan semua hal dari persiapan sampai kelas online dengan sambil-sambil. Sambil inilah sambil itulah, satu sisi ada manfaatnya sisi lain saya tidak puas dengan performa saya. Kendala lainnya saya tidak dapat meyakinkan diri sendiri siswa saya benar-benar memahami materi yang saya tampilkan. Karena tentu kita tidak melihat langsung bagaimana cara mereka mengerjakan tugasnya. Walaupun tugas sudah disusun agar siswa akan mengerjakan secara mandiri.
Kendala lainnya adalah kehadiran siswa, karena ada siswa yang tidak hadir tanpa konfirmasi. Tidak menyelesaikan tugas dan itu artinya dia tidak masuk kelas. Pengumpulan tugas yang tidak tepat waktu juga menjadi permasalahan, namun karena ini online dan menimbang keinginan siswa yang sudah berusaha menyelesaikan jadi ini bukan hal besar. Dan terakhir tantangan saya yang paling meresahkan adalah memeriksa tugas siswa. Sangat menyusahkan karena Matematika membutuhkan ketelitian, sedangkan foto tulisan siswa tidak semua dapat terlihat dengan baik di layar laptop maupun hape. Semestinya juga hasil kerja siswa dikoreksi dan dikembalikan, sedangkan untuk pelajaran Matematika sendiri itu sangat sulit dilakukan secara daring.
Dan eh, ternyata ada lagi, google classroom tidak mempunyai fasilitas untuk dapat berkomunikasi atau berinteraksi dengan video daring, baik individual atau pun grup. Sepertinya ini PR lagi untuk saya belajar aplikasi internet lain yang memfasilitasi itu. Sehingga suasana belajar tentu lebih terasa. Tentu harapan kita, bencana wabah ini segera berakhir. Aamiin Ya Rabbal ‘Alamiin.
by: Agustiba Zahara, S.Si