Literasi Media
“The illiterate of the 21st century will not be those who cannot read and write, but those who cannot learn, unlearn, and relearn.” Alvin Toffler.
DI era pascakebenaran (posttruth) ini, perbedaan penulis (writers) dan author semakin terang (distinctive). Penulis banyak yang mungkin belum dianggap authoritative, artinya mereka bisa saja menulis apa yang diketahui, tapi mereka belum memiliki otoritas terhadap pemikiran atau ranah yang ditulisnya, sedangkan author ialah penulis yang sekaligus memiliki otoritas terhadap keilmuan/ pemikiran yang dituangkan dalam tulisan baik itu dalam format buku, jurnal ilmiah, maupun tulisan lainnya. Setiap kalimat yang digoreskan authors) melalui pena selalu akan dipertanggungjawabkan sebagai perwujudan integritas diri sebagai seorang ilmuwan/ cendekiawan.
Di era posttruth–yang ditandai dengan membludaknya informasi berkualifi kasi berita palsu (fake news), nirfakta, anonymous, dan unauthoritative–kita juga menyaksikan bagaimana masyarakat di negara-negara maju sekali pun, ternyata dapat dengan mudah termakan berita dan informasi palsu, yang dapat menggerus dan menggoyahkan nilai-nilai demokrasi dan tatanan sosial dan ekonomi yang selama ini sudah terbukti mampu menciptakan kedamaian dan kesejahteraan. Jika negaranegara maju saja bisa terkena imbas pascakebenaran dengan dampak cukup serius, dunia pendidikan kita juga pasti akan sulit untuk menghindarinya. Dunia pendidikan kita sekarang dihadapkan pada tantangan yang tidak ringan. Karenanya, tantangan ini perlu disikapi dengan kebijakan pendidikan yang tepat dan terukur. Dampak posttruth sekarang ini telah merasuk hampir ke setiap sudut ruang dan relung kehidupan masyarakat, termasuk masyarakat pendidikan tentunya.
Model pemberitaan berita palsu (fake news) sangat beragam, bisa ungkapan berupa ‘ancaman’ yang menakutkan seolah-olah sesuatu peristiwa/ hal akan terjadi. Sebaliknya berita itu bisa juga disajikan berbentuk harapan yang indah, tapi palsu. Rasanya masih hangat dalam ingatan kita bersama bagaimana kejadiankejadian yang berlangsung di Eropa Barat dengan peristiwa Brexit, dan terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat. Kedua peristiwa itu menurut banyak pengamat merupakan kesuksesan posttruth terbesar abad ke-21 ini. Dampaknya menjadikan suhu politik meninggi dan perbuatan kriminal semakin meningkat dan dirasakan masyarakat di kedua wilayah itu, termasuk masyarakat yang bermukim di negara-negara tetangga.
Dalam skala mikro, penulis sering mendengar dan menyaksikan, berbagai imingiming yang tampak menyenangkan, ditawarkan segelintir tangan-tangan jahat ke sekolah-sekolah dengan tujuan untuk menjebak dan menipu. Para kepala sekolah atau para guru biasanya diberi imingiming untuk memperoleh kesempatan mengikuti pelatihan/ pendidikan berikut mendapatkan laptop yang akan digunakan sebagai sarana pembelajaran. Yang harus dilakukan para kepala sekolah atau guru ialah menyetorkan sejumlah uang ke rekening bank yang sudah ditentukan sebagai bentuk komitmen kesediaan akan hadir dalam kegiatan pelatihan/pendidikan tersebut. Uang yang sudah disetorkan itu, dinyatakan akan dapat di-reimburse (dibayarkan kembali) berikut biaya transportasi dan lumsum apabila pelatihan/pendidikan sudah selesai dilaksanakan. Padahal, semuanya iming-iming tersebut adalah tipuan belaka. Kejadian semacam ini terus berulang meskipun para kepala sekolah, jika sedikit lebih kritis, sebenarnya dapat memverifi kasi terlebih dahulu setiap tawaran/undangan pelatihan ke instansi yang namanya dicatut/dipalsukan itu.
Situasi itu menggambarkan begitu rentannya masyarakat jika pengetahuan tentang literasi media sangat terbatas. Masyarakat dapat dengan mudah dipengaruhi berita dan informasi palsu yang menyesatkan serta berpotensi memecah belah persatuan bangsa yang sudah dengan susah payah dibangun founding fathers.
Apa itu literasi media?
Literasi media memberikan pemahaman kepada kita bahwa kemampuan dan keterampilan ini sangat penting dan relevan dengan kebutuhan kekinian (zaman now). Salah satu batasan tentang literasi media dapat dibaca dari rumusan Aspen Media Literacy Leadership Institute (1992), literasi media dikatakan ialah kemampuan untuk mengakses, menganalisis, mengevaluasi, dan membuat media dalam berbagai bentuk.
Definisi ini mulanya memang sangat singkat, tapi seiring dengan perjalanan waktu dikembangkan, dan sekarang pengertiannya sudah diposisikan dalam konteks pendidikan siswa dalam budaya media abad ke-21, yang rumusannya sebagai berikut: (1) Literasi media ialah pendekatan pendidikan abad 21; yang (2) menyediakan kerangka kerja untuk mengakses, menganalisis, mengevaluasi dan membuat pesan dalam berbagai bentuk, dari format cetak ke video ke internet; dan (3) Literasi media membangun pemahaman tentang peran media dalam masyarakat serta keterampilan penting penyelidikan dan ekspresi diri yang diperlukan bagi warga negara yang hidup di era demokrasi.
Untuk memperkuat kemampuan siswa, media hendaknya tidak lagi dipandang sebagai sebuah ancaman yang akan memengaruhi atau merusak budaya, tetapi lebih dari itu, media sudah harus diletakkan sebagai bagian dari budaya itu sendiri. Siswa melek media menunjukkan bahwa dunia pendidikan telah berhasil membantu mereka menjadi kompeten, kritis, dan terpelajar dalam semua bentuk media sehingga mereka mampu meng ontrol, menginterpretasikan dari apa yang mereka lihat atau dengar. Untuk menjadi melek media, siswa jangan hanya diajarkan hafal fakta/ statistik media saja, tetapi juga mereka harus dibiasakan untuk berefl eksi dan bertanya secara kritis dan mendalam tentang apa yang ditonton, dibaca, atau didengar itu. Kemandirian dan kemampuan bertanya dan berpikir kritis harus terus ditumbuhkan pada setiap individu siswa. Tanpa kemampuan mendasar ini, seorang individu (siswa) tidak akan dapat berkontribusi penuh dan bermartabat dalam masyarakat yang demokratis.
Jadi, pimpinan di kementerian, dinas pendidikan, dan komunitas sekolah, kepala sekolah, guru, warga sekolah lainnya tidak perlu malu dan sungkan untuk meninggalkan pengetahuan lama yang tak lagi sesuai (to unlearn) dan/ atau mempelajari (kembali) berbagai hal baru (relearn) terhadap praktik pengelolaan pendidikan dan pembelajaran selama ini jika memang itu diperlukan dan harus dilakukan perubahan. Wallahualam.
Syamsir Alam, Divisi Pengembangan Kurikulum dan Penilaian Yayasan Sukma, Media Indonesia 9 April 2018