Kepahlawanan dan Guru Berakal Sehat
SETIAP memperingati Hari Pahlawan 10 November, kita terpapar pada beraneka simbol, alat, dan kisah perang. Di berbagai tempat, dalam rentang satu sampai beberapa hari, terjadi reproduksi narasi beraroma kekerasan. Kita bisa menyaksikannya dalam siaran-siaran televisi, atau secara langsung dalam upacara-upacara di berbagai lembaga negara dan tentu saja di sekolah.
Jika ada pesan tentang keteladanan, dalam narasi-narasi kepahlawanan yang cenderung verbal itu, sulit menemukan koneksi atau relevansi yang jelas dengan kekinian atau kehidupan nyata. Kepahlawanan, dalam narasi yang historis-simbolis ini, terasa jauh, tak terjangkau, eksklusif, dan beraroma militeristis.
Tentu saja, ada juga stasiun televisi atau koran yang berlaku kreatif. Mereka mewawancara orang biasa yang berjasa bagi komunitas tertentu atau tokoh yang berani berlaku beda. Dalam tulisan atau siaran tersebut, kita bisa membaca atau menyaksikan karya atau jasa pahlawan kekinian dan biasanya nirkekerasan.
Di sekolah-sekolah, kita harus mengakui kalau narasi keteladanan biasanya berbentuk ajakan dan imbauan, dalam bentuk ceramah atau spanduk. Dalam bentuk yang lebih partisipatoris, terdapat berbagai kegiatan kompetisi, pementasan, atau bahkan parade kepahlawanan.
Terkait dengan penyelenggaraan kegiatan yang partisipatoris yang diartikan di sini sebagai kegiatan-kegiatan yang melibatkan murid secara aktif kita tentu saja bersyukur, sebab secara pedagogis, ini merupakan peluang bagi murid untuk belajar lebih jauh, tidak saja secara konseptual, tetapi juga dalam melatih sikap dan kreativitas.
Namun, perlu dicatat bahwa kegiatan-kegiatan partisipatoris yang diadakan umumnya baru sampai pada tahap kognitif dan simulatif. Secara kognitif, reproduksi kepahlawanan muncul dalam bentuk kegiatan yang mengandalkan keterhafalan berbagai aspek dari tokoh dan peristiwa. Sementara itu, secara stimulatif, murid-murid cenderung mereproduksi aspek-aspek fisikal kepahlawanan, seperti dalam lomba melukis, parade atau membuat grafiti. Sekali lagi, dalam setiap kegiatan, biasanya ada konten berunsur kekerasan.
Hal yang luput dalam kegiatan yang sudah partisipatoris ini biasanya ialah reproduksi, analisis, dan kritik atas berbagai gagasan dan tindakan yang dilakukan sang pahlawan. Sebagai contoh, bahkan sampai di tingkat SMA, hampir tak ada dialog atau diskusi mengenai kenapa dua atau lebih pahlawan di satu waktu berbeda sikap dan tindakan.
Pertama, tentu saja, harus diakui kalau tradisi intelektual dalam wacana kepahlawanan kita belum bisa bersih dari mitologi dan kultus-individu. Pahlawan dalam narasi kita memiliki kedigdayaan, bagai menjadi adi-manusiawi. Tak seperti manusia biasa, atau kawula, pahlawan dibayangkan sebagai orang kuat, kalau perlu sakti, bergaris tangan tak biasa, magis, dan (belakangan semakin dibuat-buat) religius. Mereka diposisikan untuk tidak dikritisi.
Kedua, dalam setengah abad lebih kekuasaan Orde Lama dan Orde Baru, serta dalam kadar yang lebih kurang di Orde Reformasi, sejarah ialah alat. Narasi kepahlawanan ialah salah satu media untuk memengaruhi dan membentuk pikiran, persepsi, dan tindakan rakyat.
Sebagai alat, narasi sejarah dan kepahlawanan disuÂsun selektif dan propagandis. Ini serupa dengan apa yang dilakukan di negara-negara dengan pemerintahan yang tiran. Kalau perlu, seperti di Korea Utara, orang-orang yang dipahlawankan sampai disembah-sembah pagi dan petang. Karakter pahlawan, oleh karena itu, ialah untuk diagung-agungkan, bukan untuk dicerna akal sehat dan dijadikan laku diri.
Ketiga, sejarah dan kepahlaÂwanan kita belum dilihat sebagai pergumulan antara altruisme dan self-interest. Dalam pembelajaran, oleh karena itu, kepahlawanan diposisikan sebagai karakter tunggal yang terlepas dari berbagai unsur keduniawian. Kepahlawanan tidak dicerna sebagai produk dari kelindan perbuatan baik dengan upaya-upaya manusiawi untuk bertahan hidup dan hidup senang.
Dalam narasi pendidikan yang tak membumi ini, tentu saja, kepahlawanan menjadi karakter tak terjangkau, sekadar jadi cita-cita atau doa tak terjawab.
Reflektif-transformatif
Supaya pendidikan berkonÂten kepahlawanan berdaya guna, pertama-tama, di samÂping partisipatoris, kegiatan-kegiatan pembelajaran mestilah juga reflektif-transformatif. Artinya, setiap kegiatan mutlak melibatkan imajinasi, daya pikir, dan kritis yang bergerak melintasi ruang dan waktu. Narasi kepahlawanan tidak disajikan, tetapi diproduksi sendiri oleh murid berdasarkan bacaan mereka atas sejarah, ruang, dan waktu mereka sendiri.
Dalam model fasilitasi pembelajaran seperti ini, pola relasi murid dengan konten tidak bersifat instrumental. Kepahlawanan bukan untuk diposisikan sebagai alat seperti sebagai alat untuk mendapatkan nilai atau mobilitas vertikal dalam satu komunitas tetapi karakter yang menubuh dan menjadi laku.
Di sini, oleh karena itu, murid mesti memiliki ruang dan kapasitas untuk memilih, bukan dipilihkan atau ditakut-takuti supaya melakukan pilihan tertentu (predestined). Murid juga mesti mendapat ruang dan kapasitas untuk berekspresi serta menilai sendiri apa yang dipilih dan dilakukan.
Hanya saja, dan ini tantangan terberatnya, jika hendak menjalankan pembelajaran reflektif-transformatif ini, guru-guru mesti punya kapasitas pedagogis dan penguasaan konten yang memadai. Ciri-ciri guru yang punya kedua hal ini bisa dilihat dari kebiasaan mereka yang senang bereksperimen secara terukur, belajar dari mana dan siapa saja dan tidak betah dengan status quo.
Guru reflektif-transformatif juga biasanya berpikir dan mengajar dengan akal sehat. Di tengah arus deras mitologi, kultus-individu dalam narasi kepahlawanan, serta belum hapusnya tradisi militeristik-propagandis kesejarahan kita, tradisi kritis dalam pendidikan amatlah menentukan. Adalah mustahil berharap banyak pada guru-guru yang tak membaca dan menulis mereka yang tak berani mengaduk-aduk pemikirannya sendiri dan miskin karya.
Terakhir, guru-guru semacam ini memiliki kacamata yang inklusif mengenai sejarah dan kepahlawanan. Menjadi pahlawan ialah hak semua orang dan kepahlawanan ialah bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari.
Ini berbeda dari cara pandang yang eksklusif, yaitu kepahlawanan hanya mungkin dimiliki oleh orang-orang yang adi-manusiawi. Menggunakan akal sehat mereka, guru-guru reflektif-transformatif sampai pada kesadaran bahwa cara pandang kepahlawanan yang eksklusif ialah produk sejarah yang salah, yang terjadi dalam era politik tiran berkepanjangÂan, yang terpusat pada satu individu atau kelompok.
Dalam pembelajaran, oleh karena itu, guru-guru ini secara sadar memfasilitasi pengembangan karakter kepahlawanÂan atas dasar realitas diri murid: potensi, kecerdasan, minat, dan bakat mereka. Mereka percaya bahwa murid dengan kecerdasan kinestetik memiliki peluang sama menjadi pahlawan dengan murid berbakat matematika. Ini hanya soal siapa yang mampu berbuat apa dengan potensinya.
Penulis: Khairil Azhar Divisi Pelatihan Pendidikan Yayasan Sukma
Pada: Senin, 12 Nov 2018, 06:30 WIB