Gunung Es Perundungan
KASUS perundungan yang dialami A, siswi SMP di Pontianak, menyita perhatian khalayak, tidak terkecuali Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, juga Presiden Joko Widodo. Dari berbagai sumber diketahui, kasus tersebut berawal dari kejadian saling ejek di media sosial yang kemudian berlanjut pada tindak perundungan verbal maupun fisik. Kasus ini menjadi viral setelah ada tagar #JusticeforAudrey, yang mampu menyulut simpati warganet. Dalam sebuah unggahan disebutkan bahwa A dikeroyok lebih dari 10 siswi meskipun pada kenyataannya tidak sepenuhnya benar demikian.
Tulisan ini tentu tidak dalam kapasitas menghakimi informasi mana yang autentik. Biarlah aparat kepolisian melaksanakan tugasnya secara profesional. Dalam konteks ini, penulis justru lebih tertarik untuk melihat fenomena gunung es yang terjadi di balik berita. Kasus A sebenarnya semacam lonceng peringatan bagi semua pemangku kepentingan pendidikan terhadap maraknya kasus perundungan di kalangan remaja. Jika di masa lalu kasus perundungan lebih bersifat verbal dan fisik, kini yang lebih sering terjadi adalah cyber bullying. Perundungan yang dilakukan di dunia maya.
Cyber bullying
Internet sebenarnya merupakan platform baru dalam interaksi sosial remaja dengan teman sebayanya, yang dapat memberi kesempatan untuk tetap terhubung dengan teman-temannya meskipun tidak saling bertemu secara fisik. Namun, semakin meluasnya penggunaan teknologi informasi ini telah mengakibatkan hubungan interpersonal menjadi lebih kompleks. Terdapat perubahan bentuk komunikasi remaja, dari interaksi tatap muka menjadi interaksi virtual (Brochado, Soares & Fraga: 2016).
Perubahan demikian, meskipun positif dalam memudahkan interaksi antarteman yang terpisah jarak geografis, ternyata juga menyertakan sisi negatif, yaitu melakukan perundungan siber. Perundungan siber, sering pula disebut perisakan virtual, ialah intimidasi yang dilakukan dengan menggunakan kekerasan, ancaman, atau paksaan yang ditujukan kepada orang lain di dunia maya. Tindakan demikian dapat berupa pelecehan lisan, seperti ancaman dan makian, atau berupa pelecehan yang sengaja diarahkan kepada korban tertentu.
Perundungan siber merupakan bentuk modern dari perundungan karena dilakukan dengan memanfaatkan kemajuan teknologi informasi. Dalam beberapa kasus, dampak negatif perundungan siber ini lebih mengerikan. Tidak seperti perundungan konvensional yang terjadi di sekolah, ketika korban dapat segera kembali menemukan zona aman saat pulang ke rumah, pada perundungan siber korban dapat terus-menerus menerima chat dari pelaku di mana pun korban berada.
Di mata Ramdhani (2016) ragam dan frekuensi tindakan yang masuk kategori perundungan siber semakin meningkat akhir-akhir ini. Setiap pengguna internet dapat dengan mudah memublikasikan emosi dan pikirannya di internet, termasuk di dalamnya emosi negatif yang ditujukan menyakiti orang lain. Memang, keadaan dapat menjadi semakin buruk bila internet dimanfaatkan oknum yang tidak bertanggung jawab baik dalam penipuan, memfitnah, mengancam, maupun berbagai perilaku merugikan yang dimasukkan ke kategori perundungan siber.
Pada praktiknya, perundungan siber dilakukan dengan berbagai cara seperti menghina orang lain melalui pesan singkat, mengirim e-mail berisi ancaman, bikin komentar kasar pada orang lain, menyebarkan rumor memalukan tentang seseorang di laman media sosial, sengaja tidak memasukkan salah satu teman di chatting group, atau mengubah profil orang lain menjadi sesuatu yang tidak pantas dengan cara meretas kata sandi akun yang bersangkutan, dll.
Penelitian Sticca, Ruggieri, Alsaker, dan Perren (2013) menunjukkan, pada komunikasi dalam jejaring (daring/online), frekuensi menggunakan internet dan perilaku antisosial, seperti perundungan tradisional dan perilaku melanggar aturan, berkorelasi dengan perundungan siber. Dengan kata lain, ketiga hal tersebut merupakan faktor risiko longitudinal pelaku perundungan siber. Pelaku perundungan siber dapat disifati sebagai seseorang yang mampu menggunakan perangkat elektronik, dan memanfaatkan teknologi itu untuk melecehkan orang lain.
Matinya empati
Menurut Goodwin (2009), pelaku perundungan memiliki kekurangan dalam kemampuan berempati seperti ketidakmampuan untuk menghargai emosional dan perasaan orang lain sehingga tidak seharusnya perilaku perundungan dipandang sebagai bagian yang normal dalam kehidupan sosial. Argiati (2010) yang meneliti perilaku perundungan pada siswa SMA di Yogyakarta menemukan sebagian besar siswa berusaha untuk membalas perlakuan pelaku perundungan sebanyak 49,56%, memaklumi tindakan pelaku perundungan 35,4% dan diam karena merasa tidak berdaya 30,94%. Sebagian anak melarikan diri dari pelaku 16,81% dan anak yang menuruti keinginan perilaku perundungan karena takut diperlakukan lebih buruk sebanyak 5,31%.
Keasyikan remaja bergawai ria dapat mendekatkan yang jauh, dan menjauhkan yang dekat. Ini berarti, dengan gawai mereka bisa saling menyapa siapa saja tanpa batas jarak dan waktu. Namun sebaliknya, keasyikan berselancar di dunia maya dapat pula menjauhkan remaja dari kesempatan melakukan interaksi sosial dengan intens bersama teman-teman di dekatnya. Pengalaman virtual secara berlebihan memang dapat menggerus rasa empati yang biasanya ditumbuhkan dari aneka interaksi langsung dengan teman sebayanya.
Empati dapat memunculkan perasaan kasihan kepada korban. Perasan ikut merasakan apa yang dirasakan korban ini mampu menghalangi perundungan. Konsep empati merujuk pada kesadaran individu untuk dapat berpikir, merasakan, dan mengerti keadaan orang lain dilihat dari perspektif orang tersebut sehingga individu tahu dan benar-benar dapat merasakan apa yang dirasakan dan dipikirkan oleh orang itu. Kemampuan individu untuk dapat ‘ikut’ merasakan apa yang dirasakan korban dapat menjadi kontrol diri bagi subjek untuk tidak melakukan perundungan.
Orang tidak memiliki kemampuan untuk melakukan dua respons yang tidak kompatibel secara bersamaan. Misalnya seseorang yang memiliki perasaan welas asih tidak mungkin memiliki perasaan untuk menyakiti orang lain. Orang seperti ini lebih terhindar dari perilaku perisakan. Penelitian menunjukkan, orang yang memiliki perasaan empati yang tinggi cenderung rendah perilaku agresifnya. Dengan demikian, pelatihan yang diberikan kepada remaja untuk memperkuat rasa empati diharapkan dapat menurunkan angka perundungan.
Pelatihan empati di sini sudah barang tentu tidak sebatas pada aspek pengetahuan mengenai pentingnya berperilaku empatik, tetapi juga harus menyentuh aspek afektif peserta didik. Dimensi kognitif dari empati memang penting, tetapi yang lebih penting lagi ialah dimensi afektifnya. Dimensi afektif inilah yang lebih berperan dalam mencegah tindak perundungan. Ini berarti pendidik perlu lebih memberikan pengalaman belajar empatik yang memberi ruang berkembangnya rasa empati kepada sesama.
Tanggung jawab bersama
Sebenarnyalah upaya dalam mengatasi dan mencegah munculnya masalah perundungan memerlukan kebijakan yang bersifat menyeluruh. Oleh karena itu, diperlukan keterlibatan seluruh komponen pendikan mulai dari guru, siswa, kepala sekolah, orangtua, dan pemangku kepentingan lain untuk dapat menyadarkan seluruh komponen pendidikan tentang bahaya dari perundungan bagi kesehatan psikologis, baik korban maupun pelaku.
Mengutip pendapat Ehan (2005), kebijakan tersebut dapat berupa pembuatan program penanggulangan perilaku perundungan di sekolah di antaranya dengan peningkatan pengawasan pada siswa, pemberian psikoedukasi, penyuluhan, brainstroming dan diskusi, kegiatan menggunakan lembar kerja, membaca buku cerita yang berhubungan dengan perundungan, story telling, kolase, poster mengenai pencegahan perundungan, bermain drama, berbagi cerita dengan orangtua di rumah, menulis puisi, menyanyikan lagu antiperundungan dengan lirik yang sudah diubah dari lagu populer, bermain teater boneka, dan melakukan pelatihan atau workshop bertemakan stop bullying.
Penulis: Khoiruddin Bashori, Psikolog Pendidikan Yayasan Sukma Jakarta
Pada: Senin, 15 Apr 2019, 01:30 WIB OPINI