Dutch Disease
MENGAPA ujian nasional (UN) tetap dipertahankan sekalipun langit akan runtuh? Berikut lasannya. UN yang menguras anggaran pendidikan dengan jumlah sangat fantastik itu konon didorongkeyakinan yang masih sebatas mitos. Mitos itu menyimpan daya magnet sangat kuat dan berhasil memukau common sense pengelola dan pengambil kebijakan kependidikan.
Akibatnya, mereka kehilangan daya kritis dan selidik yang seharusnya menjadi keunggulan dan ciri utama gaya kerja. Kementerian Pendidikan seperti nya sangat yakin, peningkatan mutu pendidikan hanya dimungkinkan melalui UN. Padahal, klaim perbaikan mutu pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah sebagai pengaruh langsung diselenggarakannya UN sebenarnya sebatas harapan. Buktinya, peringkat anak usia 15 tahun, pada survei TIMSS dan PISA sejak 2000 sampai survei yang dirilis akhir 2015, belum banyak bergeser/membaik.
Apabila menggunakan ukuran hasil UN, ternyata kedudukan sekolah dan kabupaten serta provinsi relatif belum berubah. Artinya, sekolah yang input siswanya sudah baik cenderung mempertahankan
posisi mereka di peringkat lebih baik. Sebaliknya, sekolah yang input siswanya kurang baik secara akademis belum memperlihatkan perubahan berarti. Hal itu menunjukkan data hasil UN sejauh ini belum menjadi acuan utama kebijakan peningkatan mutu tingkat pusat, daerah, dan sekolah /madrasah. Investasi UN yang sangat besar belum seimbang dengan hasilnya. Dalam bahasa ekonomi
dapat disebut inefi siensi. Padahal, bila anggaran sebesar itu digunakan untuk perbaikan pembelajaran pada tingkat sekolah, hasilnya pasti lebih dirasakan siswa.
Mitos lainnya UN dinilai memotivasi siswa belajar. Terbukti, setiap menjelang UN, bimbingan tes menjamur dan kegiatan penambahan mata pelajaran di sekolah semakin marak. Jika kegiatan drilling yang ditujukan untuk membuat siswa-siswa dapat menguasai trik-trik menjawab soal UN disebut sebagai indikasi motivasi belajar siswa yang meningkat, kesimpulan itu sulit untuk dibantah.
Namun, apabila yang disebut sebagai motivasi belajar adalah sebuah keadaan with-or-without teacher, students learning occurs, dengan siswa melalui proses memahami konsep-konsep keilmuan dengan benar, melatih kemampuan pemecahan masalah, analitis, kemampuan merekonstruksi ilmu baru dengan pengetahuan yang dimiliki sebelumnya, jawabannya tentu akan berbeda. Peningkatan mutu pendidikan bukanlah akibat langsung dari diselenggarakan UN. Hampir 90% proses penilaian siswa berlangsung di sekolah dan dalam pengawasan guru.
Siswa-siswa belajar, berinteraksi, dan berefl eksi bersama guru. Mereka membangun kesepakatan, sistematika pembelajaran, dan alat ukurnya. Mereka secara bersama-sama merumuskan kriteria keberhasilan serta cara meraihnya sesuai dengan learning style dan pace belajar siswa tanpa paksaan. Alat ukurnya dikonstruksi berdasarkan kemampuan, relevansi, autentikasi, dan kebutuhan. Guru-guru juga sangat berdedikasi dan terkadang bekerja melebihi ekspektasi dan kemampuan mereka sendiri.
Pada saat ujian, guru-guru hanya menggunakan dana sekadarnya. Mereka menaruh kepercayaan tinggi pada siswa karena kepercayaan merupakan nilai pendidikan yang harus ditumbuhkan pada diri siswa. Oleh sebab itu, pada saat ujian, pengawas independen tidak diperlukan kehadirannya. Sejumlah instrumen penilaian digunakan untuk menilai keberhasilan siswa, bukan hanya satu, seperti UN. Ujian nasional dan Dutch desease Kenapa UN masih dipertahankan? Untuk menjawab pertanyaan ini, baiknya kita mencermati tulisan M Syamsuddin, econometrician dari ITB. UN, menurutnya, merupakan produk kreativitas anak bangsa Indonesia dan Kemendikbud telanjur mengatakan UN baik dan penting bagi bangsa.
Ketika masyarakat (kepala sekolah, guru, orangtua siswa, siswa, dan lainnya) mengikuti logika Kemendikbud, sumber daya (tenaga,pikiran, waktu, ruang, uang, dan lainnya) mulai bergerak berkumpul di seputar UN. Urusan sekolah yang tidak terkait dengan UN (sektor non-UN) dengan mudah tersisihkan dan relatif dianggap tidak penting. Kehormatan sekolah dipertaruhkan dalam pelaksanaan UN. Demi sukses mencapai UN, terutama untuk kelas tiga sekolah menengah, sekolah bisa secara naluriah mengabaikan sektor non-UN dan kegiatan sehari-harinya terkonsentrasi ke pembahasan materi soal-soal UN. Pendidikan di sekolah tiba-tiba berubah seperti kegiatan lembaga bimbingan belajar.
Lebih lanjut Syamsuddin menyatakan fenomena UN ini mirip fenomena Dutch disease dalam ilmu ekonomi. Dutch disease adalah fenomena dari penemuan SDA di Belanda yang semula dianggap hal
baik dan penting bagi suatu bangsa. Namun, ternyata secara alamiah itu menyimpan potensi yang bisa merusak tatanan perekonomian nasional keseluruhan. Sebelum 1959, landasan yang kukuh dari perekonomian Belanda pada sektor produk olahan dan pertanian untuk diekspor. Pada 1959 ditemukan cadangan gas alam dalam jumlah besar. Setelah ditambang dan diekspor, gas alam itu menghasilkan devisa besar. Ketika devisa itu dikonversikan ke mata uang Belanda gulden, gulden mengalami penguatan dan mengakibatkan gejala real exchange rate appreciation. Akibatnya, gulden mengalami overvalued.
Dengan gulden yang overvalued, harga produk olahan dan pertanian Belanda menjadi relatif mahal di pasar internasional. Kedua sektor perekonomian itu menjadi tidak kompetitif lagi di pasar internasional. Akibatnya ekspor dari kedua sektor ini mengalami penurunan yang drastis.
Profit dari kedua sektor ini pun mengalami penurunan drastis pula. Bila suatu sektor perekonomian
mengalami penurunan profi t yang drastis, resources (modal, pikiran, waktu, dsb) tidak mengalir ke sana. Akibatnya sektor produk olahan dan pertanian di Belanda mengalami kemunduran. Padahal, kedua sektor ini semula merupakan landasan yang kuat perekonomian Belanda dan fondasi ini telah mulai digerogoti penemuan gas alam. Keadaan semakin runyam mana kala cadangan gas alam menipis dan sektor produk olahan dan pertanian telanjur rusak. Fondasi perekono mian Belanda rusak. Belanda memasuki resesi 1960-an.
Ilustrasi dan analogi sebagaimana digambarkan M Syamsuddin di atas mungkin tidak sepenuhnya tepat dan sesuai dengan nuansa dan arah kebijakan pendidikan Kemendikbud sejauh ini. Namun, mengabaikan sama sekali peringatan itu juga kurang elok dan kontraproduktif. Kenyataannya anggaran yang digelontorkan untuk kegiatan penilaian, baik UN, UKG, Indonesia national assessment program (INAP), dan akreditasi sangat besar dan belum sebanding anggaran yang digunakan sekolah/madrasah untuk program peningkatan mutu.
Setelah 73 tahun merdeka, Kemendikbud sudah selayaknya mengganti keyakinan bahwa perbaikan sarana dan prasarana pembelajaran, peningkatan kualitas guru, penerbitan buku bermutu, dan pendayagu naan teknologi perlu mendapatkan perhatian lebih. Perlu pendanaan pendidikan yang proporsional. Sebuah ungkapan yang banyak beredar di kalangan pegiat penilaian bahwa ‘hewan kambing tidak akan bisa menjadi lebih gemuk atau bertambah berat badannya jika hanya terus ditimbang’. Kualitas pendidikan dipastikan tidak akan menjadi lebih baik dengan banyak macam kegiatan penilaian. Wallahu a’alam.
Syamsir Alam
Divisi Pengembangan Kurikulum dan Penilaian Yayasan Sukma