Your children are not your children They are the sons and daughters of Life’s longing for itself They come through you but not from you And though they are with you, yet they belong not to you… (Kahlil Gibran, Children, The Prophet, 1923)
ANAK-ANAK ialah tempat kita bisa selalu berharap pada masa depan. Mereka sudah selayaknya dijamin untuk tumbuh berkembang secara fi sik, mental, sosial, moral, dan spiritual seiring dengan kebebasan dan martabat yang menjadi mereka. Hak-hak anak diakui dan dijamin. The United Nations Convention on the Rights of the Child (UNCRC/CRC) atau Konvensi tentang Hak-Hak Anak PBB yang ditandatangani 20 November 1989, menegaskan hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, kesehatan, dan kultural anak-anak di bumi ini.
Setidaknya dikenal 10 hak yang dimiliki anak-anak, yaitu hak untuk bermain, mendapatkan; pendidikan, perlindungan, identitas, status kebangsaan, makanan, kesehatan, rekreasi, kesamaan, dan hak untuk memiliki peran dalam pembangunan. Kesemuanya merupakan keniscayaan yang tak terelakkan dalam kehidupan yang waras dan bermartabat.
Dalam dunia yang berubah cepat belum semua hak anakanak dapat dipenuhi. Padahal, itu sudah menjadi sebuah keharusan. Sebagian karena keadaan ekonomi, politik, sosial, dan budaya yang membuat upaya pemenuhannya menjadi nyaris mustahil—akibat konfl ik, perang, kemiskinan dan bencana—sebagian lagi akibat manusia abai dan lalai. Sebagian karena tiadanya kehadiran negara, kewenangan atau aturan tentangnya, sebagian lagi karena kemalasan, keengganan dan ketidakpedulian untuk membuatnya ada.
Dalam konteks relasi sosial, memahami anak lebih sering menjadi ajang tontonan dominasi dan hegemoni. Soal relasi kuasa atau kewenangan yang tak seimbang dan hanya menempatkan anak sebagai korban atau pecundang. Kemandirian, pengakuan, penghargaan dan kebahagiaan menjadi sebuah kemewahan yang jarang singgah dalam kehidupan anak.
Anak-anak diperlakukan sebagai beban atau malah sebagai lawan yang harus ditaklukkan oleh mereka yang tua atau dewasa. Bukan sebagai makhluk dengan segala keunikan dan calon pemilik masa depan. Kegagapan memahami dunia anak sebagai dunia yang tak bisa diperlakukan sama dengan dunia orangtua/dewasa, melahirkan berbagai masalah pada anak; penyimpangan psikososial, sikap dan perilaku yang terkadang berujung pada masalah yang lebih serius pada perkembangan emosi, fisik, dan mental anak.
Dunia pendidikan yang semestinya menjadi salah satu lahan bagi bersemainya upayaupaya pemenuhan hak-hak anak, terkadang malah menjadi bukti kegagapan dalam memahami dunia anak-anak. Bersekolah yang secara hakiki berurusan dengan bagaimana cara ‘memanusiakan manusia’, tidak jarang terjebak dalam peneguhan dominasi dunia mereka yang tua dan dewasa, dan gagal menjadi upaya yang disebut sebagai ‘menciptakan lingkungan yang inklusif, sehat, aman dan efektif serta menjamin keterlibatan anakanak, keluarga dan komunitas’ (Shaeffer: 1999). Bagaimana seharusnya penyelenggaraan pendidikan yang memungkinkan hak-hak anak dapat dipenuhi dan dijamin?
Sekolah ramah
Mengacu pada konsep sekolah ramah berbasis hak-hak anak yang dinyatakan Unicef, terdapat 13 karakteristik sekolah yang harus dikembangkan. Pertama, sekolah mampu merefl eksikan dan mewujudkan hak-hak setiap anak, serta menjamin kesempatan bagi setiap anak dalam mengembangkan kemampuan, potensi dan keterampilan mereka, termasuk juga kemampuan untuk memberi perlindungan terhadap segala bentuk ancaman fi sik dan mental, baik di dalam maupun di luar sekolah.
Kedua, sekolah mampu memahami anak secara menyeluruh, berkaitan dengan perhatian pada kesiapan sekolah, baik sebelum (keadaan kesehatan dan gizi, keterampilan sosial dan bahasa) maupun sesudah sekolah (saat mereka meninggalkan kelas dan kembali ke rumah atau komunitas).
Ketiga, berpusat pada anak. Sekolah harus mampu mendorong dan menumbuhkan partisipasi, kreativitas, harga diri dan pemenuhan kebutuhan psikososial anak. Kurikulum yang berpusat pada anak dan metode belajar-mengajar yang sesuai dengan kebutuhan, tingkat perkembangan, kemampuan dan gaya belajar anak, mutlak dimiliki sekolah.
Keempat, sensitif terhadap gender dan ramah terhadap (anak) perempuan. Menjamin kesetaraan dalam akses dan pencapaian bagi perempuan dan laki-laki, mengurangi hambatan pada kesetaraan gender, dan menghapuskan prasangka gender/gender stereotype, serta menyediakan fasilitas, menyusun kurikulum dan menjamin proses belajar bagi anak perempuan. Kelima, memastikan hasil belajar yang berkualitas dengan cara mendorong anak untuk berpikir kritis, berani mengajukan pertanyaan dan menyatakan pendapat. Hal ini antara lain dapat dicapai dengan membantu anak untuk terampil menulis, membaca, berbicara, mendengarkan, dan berhitung, termasuk membekali anak dengan pengetahuan dan keterampilan, baik yang tradisional maupun moderen, yang dibutuhkan di masa depan, termasuk di dalamnya ialah pengetahuan tentang nilai-nilai perdamaian, demokrasi dan penerimaan atas keberagaman.
Keenam, menyediakan pendidikan berbasis kehidupan nyata anak. Sekolah mampu untuk merumuskan kurikulum yang benar-benar berdasarkan kebutuhan belajar anak, baik secara individual maupun menimbang tujuan umum sistem pendidikan, konteks lokal dan pengetahuan tradisional keluarga serta komunitas. Ketujuh, sekolah mampu menanggapi dan memiliki kelenturan terhadap keberagaman, terutama berkaitan dengan situasi dan kebutuhan anak yang berbeda akibat perbedaan gender, kultur, kelas sosial dan tingkat kemampuan.
Kedelapan, sekolah mengupayakan dan menjamin praktik inklusi, saling menghargai dan pemberian kesempatan yang sama untuk semua anak. Stereotipe mengucilkan atau diskriminasi dengan alasan perbedaan merupakan praktik yang harus ditolak dan dilawan bersama. Kesembilan, sekolah mempromosikan kesehatan mental dan fisik. Sekolah mampu menyediakan dukungan emosional, mendorong perilaku dan praktik sehat dan menjamin lingkungan yang sehat, bersih, aman dan menyenangkan.
Kesepuluh, menyediakan pendidikan yang layak dan mudah dijangkau, terutama bagi anak dan keluarga yang paling berisiko. Kesebelas, sekolah meningkatkan kapasitas, moral, status, dan komitmen guru. Artinya, sekolah memastikan para gurunya telah mendapatkan berbagai pelatihan yang layak, baik pelatihan pre-service, dukungan in-service, pengembangan profesional, status, dan penghasilan/pendapatan.
Kedua belas, sekolah memberikan perhatian dan memperkuat keluarga melalui kerja sama serta membantu siswa, orangtua dan guru untuk mewujudkan kerja sama yang harmonis dan kolaboratif. Terakhir, ketiga belas, sekolah berbasis masyarakat. Upaya penguatan pengelolaan sekolah melalui pendekatan komunitas yang terdesentralisasi, mendorong orangtua, pemerintah daerah, organisasi masyarakat, serta lembaga masyarakat sipil lainnya untuk berpartisipasi dalam pengelolaan dan pembiayaan pendidikan, menyokong kerja sama komunitas dan membangun jaringan yang berfokus pada pemenuhan hakhak dan kebutuhan anak.
Jika sekolah dapat memenuhi ketiga belas karakter di atas, lingkungan pendidikan positif yang menjamin hak-hak anak bukan lagi menjadi mimpi yang mustahil. Tekad untuk menjadikan ‘Anak Indonesia, Anak GENIUS (Gesit, Empati, Berani, Unggul, dan Sehat),’ sesuai tema Hari Anak Nasional 2018, akan bisa dicapai. Bersekolah akan menjadi tempat bagi proses peneguhan generasi pemilik masa depan bangsa yang lebih hebat dan bermartabat. Selamat Hari Anak Nasional.
Victor Yasadhana Direktur Pendidikan Yayasan Sukma